Pena Khatulistiwa
Menggores Sejarah Peradapan

Mengenal Lebih Dekat Tebuireng

Penakhatulistiwa.com – Tebuireng adalah nama sebuah pedukuhan yang termasuk wilayah administratif Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, berada pada kilometer 8 dari kota Jombang ke arah selatan. Nama pedukuhan seluas 25,311 hektar ini, kemudian dijadikan nama pesantren yang didirikan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari.

Menurut penuturan (alm.) KH. Ishomuddin Hadzik (Gus Ishom), nama Tebuireng berasal dari kata “kebo ireng” (kerbau hitam). Konon, ada seorang penduduk yang memiliki kerbau berbulu kuning. Suatu hari, kerbau tersebut menghilang. Setelah dicari, kerbau itu ditemukan terperosok di rawa-rawa. Sekujur tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit kerbau yang semula berwarna kuning berubah menjadi hitam.

Related Posts
1 of 482

Peristiwa ini menyebabkan pemilik kerbau berteriak “kebo ireng …/kebo ireng …!” Sejak saat itu, dusun tempat ditemukannya kerbau tersebut dikenal dengan nama Kebo Ireng.

Pada perkembangan selanjutnya, ketika penduduk dusun mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah menjadi Tebuireng. Tidak diketahui kapan perubahan itu terjadi. Apakah hal itu ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun, yang mendorong masyarakat menanam tebu? Ada kemungkinan, tebu yang ditanam berwarna hitam sehingga dusun tersebut dinamakan Tebu Ireng (tebu yang berwarna hitam). Nama Tebu dan Ireng kemudian digabung menjadi Tebuireng, tanpa pemisah spasi. Dalam terminologi Ilmu Nahwu, penggabungan dua nama menjadi satu seperti itu, disebut Murokkab Majzi.

Versi lain menuturkan, nama Tebuireng merupakan pemberian dari seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sana. Para nara sumber yang kami hubungi tidak dapat memastikan versi mana yang paling kuat.

Berdirinya Pesantren Tebuireng

Pada penghujung abad ke-19, di sekitar Tebuireng bermunculan pabrik- pabrik milik orang asing (terutama pabrik gula). Bila dilihat dari aspek ekonomi, keberadaan pabrik-pabrik tersebut memang menguntungkan karena akan membuka banyak lapangan kerja.

Akan tetapi secara psikologis justru merugikan, karena masyarakat belum siap menghadapi industrialisasi. Masyarakat belum terbiasa menerima upah sebagai buruh pabrik. Upah yang mereka terima biasanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif-hedonis. Budaya judi dan minum minuman keras pun menjadi tradisi.

Ketergantungan rakyat terhadap pabrik kemudian berlanjut pada penjualan tanah-tanah rakyat yang memungkinkan hilangnya hak milik atas tanah. Diperparah lagi oleh gaya hidup masyarakat yang amat jauh dari nilai-nilai agama.

Kondisi ini menyebabkan keprihatinan mendalam pada diri Kiai Hasyim. Beliau kemudian membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di dusun Tebuireng. Lalu pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H (bertepatan dengan tanggal 3 Agustus 1899 M.), Kiai Hasyim mendirikan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu (Jawa:tratak), berukuran 6X8 meter.

Bangunan sederhana itu disekat menjadi dua bagian. Bagian belakang dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim bersama istrinya, Nyai Khodijah, dan bagian depan dijadikan tempat salat (mushalla). Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Kehadiran Kiai Hasyim di Tebuireng tidak langsung diterima dengan baik oleh masyarakat. Intimidasi dan Fitnah datang bertubi-tubi. Tidak hanya Kiai Hasyim yang diganggu, para santripun sering diteror. Teror itu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak menyukai kehadiran pesantren di Tebuireng. Bentuknya beraneka ragam. Ada yang berupa pelemparan batu, kayu, atau penusukan senjata tajam ke dinding tratak. Para santri seringkali harus tidur bergerombol di tengah-tengah ruangan, karena takut tertusuk benda tajam.

Gangguan juga dilakukan di luar pondok, dengan mengancam para santri untuk meninggalkan pengaruh Kiai Hasyim. Gangguan-gangguan tersebut berlangsung selama dua setengah tahun, sehingga para santri disiagakan untuk berjaga secara bergiliran.

Ketika gangguan semakin membahayakan dan menghalangi sejumlah aktifitas santri, Kiai Hasyim lalu mengutus seorang santri untuk pergi ke Cirebon, Jawa Barat, guna menamui Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai Sansuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet. Keempatnya merupakan sahabat karib Kiai Hasyim. Mereka sengaja didatangkan ke Tebuireng untuk melatih pencak silat dan kanuragan selama kurang lebih 8 bulan.

1. Tanggal pendirian tratak ini dicatat sebagai awal berdirinya Pesantren Tebuireng.

2. Konon, kedelapan orang santri itu dibawa oleh Kiai Hasyim dari pesantren Keras (asuhan Kiai Asy’ari).

Dengan bekal kanuragan dan ilmu pencak silat ini, para santri tidak khawatir lagi terhadap gangguan dari luar. Bahkan Kiai Hasyim sering mengadakan ronda malam seorang diri. Kawanan penjahat sering beradu fisik dengannya, namun dapat diatasi dengan mudah. Bahkan banyak diantara mereka yang kemudian meminta diajari ilmu pencak silat dan bersedia menjadi pengikut Kiai Hasyim.

Sejak saat itu Kiai Hasyim mulai diakui sebagai bapak, guru, sekaligus pemimpin masyarakat. Selain dikenal memiliki ilmu pencak silat, Kiai Hasyim juga dikenal ahli di bidang pertanian, pertanahan, dan produktif dalam menulis. Karena itu, Kiai Hasyim menjadi figur bagi masyarakat sekitar yang rata-rata berprofesi sebagai petani.

Suatu ketika ada seorang anak majikan Pabrik Gula Tjoekir berkebangsaan Belanda menderita sakit parah dan dalam keadaan kritis, kemudian dimintakan air do’a kepada Kiai Hasyim, anak tersebut menjadi sembuh.

Pesantren Tebuireng

Pesantren Tebuireng didirikan dengan tujuan untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat. Di awal kelahirannya, Pesantren Tebuireng hanya mengajarkan ilmu pengetahuan agama secara sorogan dan bandongan, dengan Bahasa Jawa pego sebagai bahasa pengantar. Semua bentuk pengajaran tidak dibedakan melalui jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Para santri juga dibekali ilmu pecakapan Bahasa Arab (mubadatsab).

Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran ditambah dengan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi. Jumlah santri yang masuk kelas musyawaroh sangat kecil, karena seleksinya cukup ketat. Saat itu Hadratus Syeikh dibantu oleh saudara iparnya, Kiai Alwi.

Tahun 1916, Hadratus Syeikb merintis pendidikan klasikal melalui madrasah dengan Kepala Madrasah pertama Kiai Ma’shum Ali, menantu Hadratus Syeikb dan penulis kitab shorof yang cukup populer di dunia pesantren, Amtsilatut Tasbrifiyyab. Madrasah tersebut membuka tujuh jenjang kelas. Jenjang pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu jenjang persiapan untuk memasuki jenjang lima tahun berikutnya.

Tahun 1919, kurikulum Madrasah Tebuireng ditambah dengan Bahasa Indonesia, matematika, dan geografi. Ini merupkan terobosan baru yangn saat itu belum pernah dilakukan pesantren lain di Indonesia. Hadratus Syeikb dibantu oleh keponakannya, Muhammad Ilyas (kelak menjadi Menteri Agama) yang sekaligus menjadi Lurah Pondok dan Kepala Madrasah. Materi pelajaran Bahasa Indonesia (Melayu), Bahasa Belanda, sejarah, ilmu berhitung, ilmu bumi, dan penulisan huruf latin ditambahkan dalam kurikulum.

Tahun 1934, putra Hadratus Syeikb yang baru pulang dari Mekkah, KH. Abdul Wahid Hasyim, mendirikan Madrasah Nizhamiyab yang mengajarkan 60% ilmu pengetahuan umum dan 40% ilmu pengetahuan agama. Selain mengajarkan bahasa Arab dan Belanda, Madrasah Nizhamiyah juga mengajarkan Bahasa Inggris dan keterampilan mengetik.

KH.A. Wahid Hasyim (bersama Kiai Ilyas) juga mendirikan Ikatan Pelajar Islam dan perpustakaan yang menyediakan lebih dari 1.000 judul buku. Keberadaan Madrasah Nizhamiyah tidak merubah sistem pengajian kitab dan kelas musyawaroh yang diasuh Hadratus Syeikb.
Setelah Hadratus Syeikb wafat, kepemimpinan Pesantren Tebuireng dilanjutkan secara berturut-turut oleh KH.A. Wahid Hasyim, KH. Abdul Karim Hasyim, KH. Baidhowi Asro, dan KH. Abdul Kholiq Hasyim, dibantu oleh KH. Ma’shum Ali, KH. Muhammad Ilyas, KH. Idris Kamali, KH. Adlan Ali, KH. Yusuf Masyhar, KH. Sobari.

Pada masa itu, unit-unit madrasah di Pesantren Tebuireng diformalkan sesuai dengan sistem persekolahan Nasional, menjadi Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan Madrasah Mu’allimin.
Pada masa Kiai Kholiq, kelas musyawarah yang pernah eksis di zaman Hadratus Syeikb dihidupkan kembali dengan bantuan Kiai Idris Kamali. Meskipun sistemnya tidak sama persis, akan tetapi kualitas santri didikan Kiai Idris cukup baik.

Tahun 1965, kepemimpinan Pesantren Tebuireng dilanjutkan oleh KH.M. Yusuf Hasyim, dibantu oleh KH. Hadzik Mahbub, KH. Adlan Ali, KH. Mahfudz Awar, KH. Yusuf Masyhar, dan KH. Syansuri Badawi. Pada 1967, Pesantren Tebuireng mendirikan Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY), kemudian merintis berdirinya Madrasatul Hufazd (tahun 1971), Sekolah Persiapan (tahun 1972), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) serta Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1975.

Kemudian pada 1984, KH.M. Yusuf Hasyim bersama keluarga besar Pesantren Tebuireng membentuk Yayasan Hasyim Asy’ari, yang berfungsi mengelola administrasi dan manajemen pesantren, serta mengelola tanah wakaf peninggalan Hadratus Syeikh.

Selanjutnya, tahun 1991 didirikan Unit Koperasi Jasa Boga yang menangani pemenuhan makan santri, tahun 2003 didirikan Pondok Pesantren Putri untuk memfasilitasi para pelajar putri yang berniat mondok di Tebuireng, dan tahun 2006 KH.M. Yusuf Hasyim menggagas berdirinya Ma’had Aly sebagai sarana pendalaman ilmu-ilmu keislaman klasik dan kontemporer.

Dari uraian di muka, terlihat bahwa Pesantren Tebuireng selalu melakukan pengembangan dan inovasi baik pada sistem maupun kurikulum pendidikan. Pengembangan diperlukan guna memenuhi kebutuhan dan menjawab tantangan zaman, tanpa menghilangkan ciri khas dan nilai-nilai luhur pesantren.
Sistem dan metode pengajaran Hadratus Syeikh berhasil melahirkan lulusan yang berkualitas, yang di kemudian hari menjadi pemimpin- pemimpin di masyarakat. Data Sambu Beppang (Gestapo Jepang) tahun 1942 menyebutkan, sekitar 25.000 kiai, birokrat, dan tokoh masyarakat di Jawa dan Madura, pernah belajar kepada Hadratus Syeikh di Tebuireng.

Pada periode-periode berikutnya, lulusan Pesantren Tebuireng juga cukup baik dan dapat berkiprah di berbagai bidang. Yang paling menonjol adalah santri-santri didikan Kiai Idris Kamali, yang rata-rata menjadi ulama dan tokoh masyarakat. Gus Dur, KH. Tholhah Hasan, KH. Ali Mustafa Ya’qub, dan KH. Ma’ruf Amin adalah diantara santri yang pernah berguru kepada Kiai Idris.
Peran sosial dan politik Pesantren Tebuireng juga cukup menonjol, mulai dari pembentukan laskar-laskar perjuangan kemerdekaan (Hisbullah dan Sabilillah), dikeluarkannya resolusi jihad, perumusan konstitusi RI, pembentukan lembaga-lembaga sosial keagamaan seperti NU dan MIAI, pendirian partai politik seperti Partai NU, Masyumi, AKUI, dan PKU, serta peran para pengasuh dan alumni Pesantren Tebuireng dalam kancah pembangunan Nasional.

Pesantren Tebuireng, Kini Dan Esok

Sejak bulan April 2006, kami diberi amanah untuk melanjutkan perjuangan para pendahulu kami di Tebuireng. Bukan perkara mudah mengemban amanah ini. Tapi juga bukan perkara sulit bila kita optimis, istiqamah, dan ikhlas menjalaninya.

Sebagai lembaga pendidikan yang memiliki tradisi inovatif dan peran sejarah yang cukup panjang, Pesantren Tebuireng ke depan dituntut untuk terus mengembangkan diri dalam semua aspek. Jika pada awal berdirinya, Pesantren Tebuireng dihadapkan pada tatanan masyarakat agraris-tradisional dengan corak kehidupan yang sangat sederhana, maka kini, corak kehidupan masyarakat sudah sangat berbeda.

Pengaruh modernisasi dan kemajuan teknologi yang merambah hingga ke pelosok-pelosok desa, menjadikan problem keagamaan dan kemasyarakatan serta cara penanganannya semakin kompleks.
Melahirkan figur ulama sekaliber Hadratus Syeikb KH. Hasyim Asy’ari yang multi-talenta dan multi-dimensi, tentu sangat sulit. Karena yang terjadi sekarang adalah fenomena spesialisasi keilmuan dan tuntutan profesionalisme.

Setiap orang dituntut mempunyai keahlian pada satu atau dua bidang tertentu. Sementara pada saat yang sama, beragam disiplin ilmu muncul dan membutuhkan spesialisasi. Tidak mustahil alumni Pesantren Tebuireng ke depan akan menjalani profesi dokter, insinyur, pengusaha, ekonom, pemikir, budayawan, sosiolog, disamping sebagai pemimpin masyarakat (ulama, kiai, birokrat).

Kondisi seperti ini mengharuskan adanya inovasi baik dalam visi, misi, tujuan, sistem, serta manajemen pendidikan dan pengajaran di Pesantren Tebuireng. Juga dibutuhkan keterlibatan dan peran aktif semua potensi, baik pengasuh, para dzuriyyah, para pengurus, guru, pengajar, pembina, karyawan, abdi pesantren, juga para santri dan siswa. Tujuannya, agar amanah Hadratus Syeikb dapat terpelihara dengan baik.

Amanah Hadratus Syeikh selain berupa fisik Pesantren Tebuireng, juga berupa cita-cita, keinginan, tujuan, prinsip, metode, dan ajaran yang harus kita lestarikan melalui pendidikan dan perjuangan sosial kemasyarakatan.
Di bidang pendidikan, diperlukan orientasi yang jelas dari setiap unit pendidikan yang ada di Tebuireng. Keberadaan SMP dan SMA.

 

Sumber : Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur : Profil Pesantren Tebuireng: Pustaka Tebuireng; 2011, halaman VII-XI; 3-6

READ  Bela Kaum Buruh, Pemuda Pancasila Kota Surabaya Geruduk Disnaker Jatim

Leave A Reply

Your email address will not be published.