Penakhatulistiwa.com – Wanita pemberani asal Nganjuk, Jawa Timur itu berusia pendek, hanya 24 tahun. Namun, namanya bakal dikenang lebih lama dari usianya.
Dilahirkan 10 April 1969, nama Marsinah kini dikenal sebagai pahlawan kaum buruh dan simbol keberanian melawan kesewenang-wenangan. Semua itu dibayar Marsinah dengan nyawanya: jenazahnya ditemukan pada Minggu, 9 Mei 1993, di hutan jati Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur.
Marsinah sejatinya hanyalah wanita biasa, seorang buruh di pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) di kawasan Rungkut, Surabaya. Dia bekerja tidak lama di Rungkut karena dipindahkan ke cabang PT CPS di Porong, Sidoarjo. Kabarnya, Marsinah dimutasi karena menuntut didirikannya serikat pekerja di PT CPS.
Mulai bekerja di PT CPS Porong pada awal 1992, sehari-hari dia ditempatkan sebagai operator mesin bagian injeksi dengan upah Rp 1.700 dan uang hadir Rp 550 per hari. Karena jauh dari kampung halaman, dia pun mengontrak di rumah warga di kawasan Desa Siring. Dari sinilah cerita berdarah Marsinah dimulai.
Semuanya bermula pada awal tahun 1993. Ketika itu muncul Surat Edaran Gubernur Jatim Nomor 50 Tahun 1992 yang berisi imbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawan dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Sayangnya, tidak semua pengusaha memenuhi imbauan tersebut yang kemudian ditanggapi negatif oleh para buruh, termasuk Marsinah dan teman-temannya.
Dari sejumlah pertemuan aktivis buruh PT CPS pada akhir April, disepakati bahwa mereka akan mogok kerja pada 3 dan 4 Mei 1993. Tuntutannya, upah harus naik dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari. Senin, 3 Mei 1993, seluruh buruh PT CPS tidak masuk kerja alias mogok. Hanya bagian staf serta kepala bagian PT CPS yang tetap masuk kantor. Bersama buruh lainnya, Marsinah hari itu berangkat ke Kanwil Depnaker di Surabaya untuk mencari data tentang Upah Minimum Regional (UMR) sebagai landasan tuntutan mereka.
Keesokan harinya, Selasa, 4 Mei 1993, buruh PT CPS melanjutkan mogok kerja. Namun, seluruhnya tetap mendatangi pabrik untuk mengajukan tuntutan. Situasi sempat memanas karena pabrik telah dijaga aparat keamanan serta satpam pabrik. Kendati demikian, perundingan akhirnya bisa digelar.
Sebanyak 15 orang perwakilan buruh PT CPS, termasuk Marsinah, mengajukan tuntutan dalam perundingan yang antara lain dihadiri oleh wakil dari Kanwil Depnaker Sidoarjo, Kansospol Sidoarjo, DPC SPSI setempat serta jajaran Muspika seperti Kapolsek dan Danramil Sidoarjo.
Sementara pihak perusahaan diwakili oleh Direktur PT CPS Porong Judi Astono, Kepala Bagian Personalia PT CPS Porong Mutiari, dan Kepala Bagian Produksi PT CPS Porong Karyono Wongso. Setelah melalui perdebatan yang alot, tuntutan kenaikan upah itu akhirnya dipenuhi. Bahkan, pihak perusahaan juga menjanjikan membahas hak-hak buruh lainnya, seperti perhitungan upah lembur, uang transpor, cuti haid, dan cuti hamil.
Hari itu mestinya masalah sudah selesai, tapi sejarah tergores lain. Setelah perundingan pada Selasa sore, 13 orang buruh yang dianggap sebagai dalang dari unjuk rasa buruh PT CPS dipanggil untuk menghadap Pasi Intel Kodim 0816 Sidoarjo pada Rabu 5 Mei 1993. Marsinah kaget atas pemanggilan itu.
Meski namanya tak masuk dalam daftar buruh yang dipanggil, Marsinah tidak bisa terima atas pemanggilan teman-temannya itu.
Saat berkumpul bersama aktivis buruh pada malam harinya, dia menegaskan sikap akan membawa kepada jalur hukum jika 13 rekannya tersebut diancam saat interogasi di Markas Kodim Sidoarjo. Malam itu, Marsinah tak sadar kalau keberaniannya dalam membela hak-hak buruh akan berakibat buruk pada malam berikutnya.
Rabu, 5 Mei 1993, 13 buruh PT CPS memenuhi panggilan Kodim Sidoarjo. Sementara Marsinah masuk kerja seperti biasa. Hari itu dia mendapat giliran kerja pagi. Suasana di pabrik arloji itu tampak normal layaknya hari-hari biasa. Namun, situasi berbeda dirasakan belasan buruh yang berada di Markas Kodim Sidoarjo.
Di tempat itu, mereka ternyata diminta untuk mengundurkan diri dari PT CPS. Surat pernyataan PHK pun sudah tersedia untuk ditandatangani. Alasannya, mereka sedang bermasalah dengan pihak perusahaan dan itu akan menimbulkan ketidaknyamanan.
Menurut pengakuan Kapten Sugeng selaku Pasi Intel Kodim 0816 Sidoarjo ketika itu, tak ada paksaan dalam pertemuan tersebut. Yang jelas, belasan rekan seperjuangan Marsinah itu menerima untuk mundur dari PT CPS.
Selepas magrib, Judi Astono selaku Kepala Pabrik PT CPS Porong dan Mutiari selaku kepala bagian personalia mendatangi Kodim Sidoarjo. Keduanya bertemu 13 buruh yang akan di-PHK dan langsung menyelesaikan urusan administrasi serta pesangon mereka.
Sementara itu, Marsinah yang sepulang kerja belum mengetahui nasib rekan-rekannya yang dipanggil pihak Kodim Sidoarjo merasa penasaran. Sejumlah teman yang dihubungi tak ada yang mengetahui hasil pertemuan itu. Tak mau menunggu, dia memutuskan untuk mencari tahu dengan mendatangi Markas Kodim Sidoarjo.
Bersama empat orang temannya sesama buruh PT CPS, malam itu, Marsinah meluncur dengan sepeda motor. Sesampainya di depan pos jaga markas itu, dia diberitahu petugas kalau 13 rekannya tersebut sudah pulang. Kedatangan Marsinah ke kantornya dibenarkan Kapten Sugeng.
“Katanya petugas piket yang menemui. Setelah diberi tahu bahwa teman-temannya sudah pada pulang, Marsinah juga terus pulang. Saya sendiri di rumah. Saya enggak di kantor. Yang jelas, malam itu saya sudah tidur,” tegas Sugeng seperti dikutip dari Majalah TEMPO edisi Senin 15 April 2002.
Tetap memendam penasaran, Marsinah berusaha mencari teman-temannya tersebut. Saat berada di perempatan Desa Siring, dia akhirnya bertemu dengan empat orang di antaranya. Marsinah kemudian mengajak mereka untuk berbicara di teras rumah kontrakannya.
Betapa terkejutnya dia, setelah mengetahui 13 rekannya telah diberhentikan karena dianggap sebagai motor unjuk rasa di PT CPS. Marsinah merasa pihak perusahaan telah bertindak tak sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sehari sebelumnya.
Butir ke-10 kesepakatan yang dibuat pada Selasa 4 Mei menyebutkan, pihak perusahaan tidak akan melakukan intimidasi atau mencari-cari kesalahan karyawan terkait adanya unjuk rasa di PT CPS.
Malam itu, Marsinah meminta lembaran berkas surat panggilan Kodim Sidoarjo milik salah seorang temannya. Surat itu kemudian dia satukan dengan lembaran surat protes untuk perusahaan yang sudah ditulis sebelumnya.
Usai bertemu teman-temannya, Marsinah keluar rumah untuk menemui rekannya sesama buruh untuk membicarakan soal protes yang akan dilayangkan keesokan harinya. Selain itu, dia juga berniat untuk membeli makanan karena sejak siang belum mengisi perut.
Saat itu, Marsinah mengenakan kaos putih, rok berwarna cokelat, dan sandal jepit. Dia menyusuri jalan kampung untuk mencari pengganjal perut. Belum sempat membeli makanan, Marsinah bertemu dua orang temannya, Asiyem dan Joko. Hanya sebentar mereka bercakap-cakap kemudian berpisah.
Di bawah pohon mangga dekat Tugu Kuning, Desa Siring, dua temannya masih sempat melihat Marsinah melenggang sambil menggenggam surat panggilan dari Kodim Sidoarjo milik salah seorang temannya serta surat pernyataan untuk PT CPS.
Jam saat itu menunjukkan sekitar pukul 22.00 WIB. Itulah kali terakhir Marsinah terlihat masih hidup. Sejak itu, buruh pemberani tersebut tak lagi bisa ditemui. Dia lenyap seolah ditelan bumi.
Sejak Rabu malam itu, Marsinah tak pernah lagi bisa ditemui. Rekannya sesama buruh kebingungan karena sang aktivis menghilang tanpa kabar. Jangankan di tempat kontrakan, buruh yang dikenal rajin ini juga tak terlihat di tempat kerjanya.
Empat hari berlalu, ketika kabar itu datang. Minggu, 9 Mei 1993, muncul kabar sesosok mayat yang diduga Marsinah ditemukan di hutan jati Wilangan, Dusun Jegong, Desa Wilangan, tak jauh dari jalan provinsi yang menghubungkan Nganjuk dan Madiun.
Kabar itu tak salah. Jasad Marsinah ditemukan tergeletak dengan tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet, tulang panggulnya hancur, dan di sela pahanya ada bercak darah, pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah.
Jasad Marsinah lalu dievakuasi ke Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk dan diautopsi. Hasil autopsi menyebutkan pada tubuh Marsinah terdapat luka-luka pada pipi, siku, lengan, perut, luka-luka robek di bagian perut, tulang punggung bagian depan hancur, memar pada kandung kemih, usus, dan pendarahan pada rongga perut.
Kabar ditemukannya Marsinah dalam kondisi tak bernyawa membuat buruh PT CPS kaget. Rentetan kejadian yang mengawali terbunuhnya Marsinah membuat banyak pihak meyakini dia dibunuh atas aktivitasnya membela kaum buruh.
Seketika pula, kematian Marsinah tak lagi dilihat sebagai pembunuhan yang biasa. Tak sekadar menjadi isu di Sidoarjo atau Jawa Timur, pembunuhan Marsinah kemudian menjadi sorotan publik Tanah Air yang bermuara pada desakan terhadap aparat keamanan untuk membongkar kasus ini.
Akhir September 1993, pemerintah membentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jawa Timur untuk menyidik kasus pembunuhan Marsinah. Penanggung jawab tim ini adalah Kapolda Jatim dan dipimpin Kadit Reserse Polda Jatim yang beranggotakan penyidik serta penyelidik Polda Jatim dan Den Intel Brawijaya.
Tim ini bergerak cepat. Hanya dalam hitungan hari setelah dibentuk, tanpa diketahui publik, sembilan petinggi dan karyawan PT CPS ditangkap secara diam-diam pada awal Oktober oleh Tim Terpadu.
Mereka adalah Yudi Susanto (pemilik PT CPS), Judi Astono (pimpinan pabrik PT CPS Porong), Suwono (Kepala Satpam PT CPS Porong), Suprapto (satpam PT CPS Porong), Bambang Wuryantoyo (karyawan PT CPS Porong), Widayat (karyawan dan sopir PT CPS Porong), Achmad Sutiono Prayogi (satpam PT CPS Porong), Karyono Wongso alias Ayip (Kepala Bagian Produksi PT CPS Porong).
Termasuk Mutiari (Kepala Bagian Personalia PT CPS Porong), yang menjadi satu-satunya perempuan yang ditangkap.
Selain sembilan orang itu, Tim Terpadu juga menahan Komandan Rayon Militer (Dan Ramil) Porong Kapten Kusaeri yang dianggap mengetahui kejadian tetapi tak melaporkan kepada atasan. Mereka dituduh bersekongkol memerkosa, menganiaya, dan membunuh Marsinah. Namun, fakta persidangan menyebutkan, setiap tersangka yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Semuanya ditetapkan sebagai tersangka dan diseret ke meja hijau. Persidangan pun kemudian digelar di Pengadilan Negeri Sidoarjo dan Pengadilan Negeri Surabaya.
Namun, akhir dari rentetan persidangan ini memperlihatkan banyak kejanggalan dan sungguh mengejutkan. Dari catatan yang ada, diketahui jalannya persidangan kasus Marsinah dipenuhi banyak ‘drama’ dan kejanggalan. Mulai dari pencabutan BAP, bantahan kesaksian, minimnya saksi yang mengetahui kejadian, kentalnya keterlibatan aparat militer, ketatnya pengamanan di ruang sidang, hingga aksi buka baju dari terdakwa, menjadi catatan dari persidangan tersebut.
Yang juga mengherankan, selama proses persidangan tak pernah terungkap siapa yang pertama kali menemukan jasad Marsinah di hutan jati Wilangan. Demikian pula dengan barang bukti berupa pakaian yang dikenakan Marsinah saat ditemukan tewas, di pengadilan terungkap telah dibakar pihak rumah sakit.
Akhirnya, para terdakwa dinyatakan pengadilan bersalah membunuh Marsinah. Satu per satu dijatuhi vonis. Yudi Susanto, misalnya, divonis 17 tahun penjara. Sedangkan, Mutiari dihukum 7 bulan karena dianggap hanya mengetahui rencana pembunuhan. Sedangkan, sejumlah staf PT CPS lainnya dihukum berkisar empat hingga 12 tahun.
Tak puas dengan hukuman itu, para terdakwa kemudian mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya. Di tingkat ini, Yudi Susanto dibebaskan, sedangkan vonis terdakwa lainnya dikuatkan PT Surabaya. Untuk mendapatkan keadilan, sembilan terdakwa lainnya mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.
Hampir dua tahun setelah ditemukannya jasad Marsinah di hutan jati Wilangan, tepatnya pada 3 Mei 1995, majelis hakim kasasi membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan atau bebas murni. Putusan inilah yang meyakinkan banyak pihak bahwa sejak awal penyidikan kasus ini memang sudah kental dengan aroma rekayasa.
Bagi aparat penegak hukum, putusan kasasi itu berarti tugas untuk mencari pembunuh sebenarnya. Sejumlah penyidikan ulang pun dilakukan. Bahkan, makam Marsinah harus dibongkar tiga kali untuk kepentingan penyidikan.
Tak kurang pula Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief ketika itu, hingga Presiden Abdurrahman Wahid, dan Megawati Sukarnoputri berjanji untuk mengusut tuntas kasus Marsinah. Akan tetapi, hingga kini kematian Marsinah tetap menjadi misteri. Tahun 2002, Komnas HAM berupaya membuka kembali kasus Marsinah dan itu pun gagal.
Saat ini, kemungkinan kasus ini dibuka kembali tentu akan semakin sulit. daya ingat mulai lemah. Selain adanya kemungkinan para saksi kunci yang sudah meninggal dunia, mereka yang masih hidup pun besar kemungkinan sudah mulai lupa dengan detail peristiwa.
Selain itu, karena pembunuhan Marsinah ini sudah kedaluwarsa, karena secara hukum kasus pembunuhan menjadi kedaluwarsa setelah 20 tahun dan tak bisa lagi dilakukan penuntutan.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi dengan Marsinah setelah meninggalkan Tugu Kuning di Desa Siring pada Rabu malam itu? Banyak jawaban, tapi tak akan pernah ada yang pasti. Marsinah dan penemuan jasadnya di hutan jati Wilangan akan tetap menjadi misteri.
PPDSM