Pena Khatulistiwa
Menggores Sejarah Peradapan

JEPANG INGKAR JANJI, MURADI MATI DIPENGGAL

 

Penakhatulistiwa.com – Muradi dan Supriyadi berasal dari Jawa Timur dan sama-sama mendaftarkan diri menjadi anggota PETA. Pemerintah pendudukan Jepang membentuk kesatuan militer ini pada 3 Oktober 1943 sebagai pasukan gerilya.

Related Posts
1 of 465

Jepang mengimbau kepada para pemuda Indonesia untuk secara sukarela bergabung dengan PETA dengan dalih sebagai pasukan pembela tanah air. Mereka sebenarnya dijadikan tentara cadangan yang akan dikerahkan ketika posisi Jepang terdesak dalam Perang Asia Timur Raya dan Sekutu mulai menyerang.

Dari sekian banyak anak muda Indonesia yang bergabung dengan PETA tersebutlah nama Muradi dan Supriyadi. Keduanya menjalani masa pelatihan bersama-sama di Bogor dan merupakan lulusan angkatan pertama pendidikan perwira PETA.

Setelah lulus dengan menyandang pangkat shodancho alias komandan pleton, Muradi dan Supriyadi ditugaskan ke wilayah asal mereka di Jawa Timur. Keduanya berdinas di Daidan atau Batalyon Blitar, bertugas mengawasi romusha, yakni orang-orang Indonesia yang dijadikan pekerja paksa oleh Jepang.

Menyaksikan sendiri rakyat Indonesia yang diposisikan sebagai romusha diperlakukan secara keji menjadi salah satu alasan Supriyadi berniat melakukan “pemberontakan” terhadap Jepang.

Tidak sedikit anggota PETA lainnya yang mendukung rencana gila hasil gagasan Supriyadi itu, termasuk Muradi. Ditemani Muradi dan beberapa perwira PETA lainnya, Supriyadi sempat menghadap Soekarno yang saat itu sedang pulang ke Blitar untuk meminta masukan atas rencana “pemberontakan” tersebut. Sukarno sebenarnya kurang yakin apakah para pemuda pemberani itu sudah punya kekuatan yang cukup untuk melawan Jepang.

Namun, Supriyadi dengan dukungan Muradi dan kawan-kawan sudah bertekad bulat. “Saya menjamin. Kita akan berhasil!” tegas Supriyadi.

Soekarno lantas menyadari bahwa tidak ada satupun yang dapat menghalang-halangi maksud mereka. Persiapan pun segera dilakukan. Sejak September 1944, diadakanlah rapat-rapat rahasia untuk menyusun rencana penyerangan itu.

Tanggal 14 Februari 1945 dipilih karena bertepatan dengan acara pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA yang akan digelar di Blitar. Diharapkan, mereka akan bergabung dalam aksi nanti dan aksi tersebut memantik daerah-daerah lain untuk melakukan hal serupa.

Namun, ternyata rencana itu bocor. Jepang yang mengetahui bahwa akan ada aksi “pemberontakan” kemudian membatalkan pertemuan besar di Blitar secara tiba-tiba. Di saat-saat genting itu, Supriyadi justru tidak diketahui di mana rimbanya. Ada yang mengira ia ditangkap Jepang, namun beredar kabar pula yang menyebut bahwa Supriyadi melarikan diri ke Gunung Kelud.

Posisi pimpinan kemudian diambil-alih oleh Muradi yang berpangkat sama dengan Supriyadi. Muradi bertindak langsung sebagai komandan tempur yang memimpin sekitar 200 prajurit PETA dengan dibantu oleh dua shodancho lainnya yaitu Suparjono dan S. Jono.

Jepang mengirimkan komandan resimen bernama Teisha Katagiri untuk berembug. Kepada Muradi, Kolonel Katagiri meminta agar seluruh anggota PETA yang terlibat perlawanan untuk segera menyerah dan kembali ke markas.

Muradi tidak serta-merta menuruti perintah tersebut. Ada syarat yang ia ajukan jika Jepang menginginkan mereka mengakhiri pertempuran, yaitu senjata para anggota PETA yang terlibat tidak akan dilucuti, dan mereka juga tidak boleh diperiksa atau diadili atas perlawanan tersebut. Katagiri langsung menyanggupi. Sebagai bukti atas ucap janji itu, Katagiri menyerahkan pedang samurainya kepada Muradi di depan para anggota PETA dan tentara Jepang yang hadir dalam perundingan gencatan senjata itu .

Namun, sumpah Katagiri rupanya hanya tipu daya belaka agar kaum “pemberontak” itu bisa ditangkap dengan mudah dan tanpa harus mengerahkan tenaga yang lebih besar.

Mengingkari martabatnya sebagai orang Jepang yang dikenal berpegang teguh pada kehormatan diri, Katagiri menghadapkan para anggota PETA itu ke meja hijau, lebih dari 78 orang.
Pengadilan militer Jepang di Jakarta memutuskan bahwa 6 orang terdakwa, termasuk Muradi, harus menjalani hukuman mati. 6 orang lainnya dibui seumur hidup, dan sisanya disanksi sesuai tingkat kesalahannya, kecuali 4 orang yang tewas semasa berada di dalam tahanan usai disiksa.

Tanggal 16 Mei 1945, atau kurang dari 3 bulan sebelum Soekarno menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Muradi dan 5 orang perwira PETA lainnya dieksekusi mati. Ke-6 terhukum dibawa ke kawasan Eevereld yang sepi. Di tempat yang kini termasuk wilayah Ancol di pesisir pantai utara Jakarta itu, mereka menjadi tumbal bagi republik yang sebenarnya sedang menyongsong kemerdekaan.

Mereka dipenggal dengan pedang samurai, senjata sakral yang sempat dijadikan jaminan janji kepada Muradi, kendati ternyata diingkari.

#PPDSM

READ  Soal Kejujuran La Nyalla, Erick Thohir Sebut Fahri Hamzah Hanya Kompor

Leave A Reply

Your email address will not be published.