Penakhatulistiwa.com, Sleman – Sebagai salah satu bukti peninggalan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur yang saat ini berusia 725, Situs Trowulan yang merupakan cagar budaya mengalami nasib yang sangat memprihatinkan. Bahkan, hingga saat ini masih ada penghancuran situs tersebut untuk produksi linggan/bata.
Padahal, situs Trowulan sendiri telah menyandang status Cagar Budaya Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 260/M/2013. Karena itu, diperlukan perhatian khusus kepada masyarakat guna mewujudkan pelestarian dalam perspektif lingkungan.
Ir. Catrini Pratihari Kubontubuh, Direktur Eksekutif Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD) mengatakan manusia memegang peranan yang penting sebagai subjek pelestarian. Hal itu yang harus ditekankan untuk melestarikan situs Trowulan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Menurutnya hingga saat ini, situs yang menandakan keberadaan kerajaan Majapahit terus mengalami kerusakan. Kerusakan Trowulan disebabkan banyak hal, bahkan bukan hanya ulah manusia saja tapi melainkan juga pengaruh kondisi alam.
“Kerusakan Trowulan sudah dari masa kolonial, tepatnya saat revolusi industri, yang mana dilakukan pembangunan pabrik gula di Jawa Timur. Berdasar catatan para peneliti, bata dari candi dan struktur peninggalan Trowulan dipakai untuk membangun pabrik-pabril gula, padahal itu peninggalan arkeologis,” katanya disela-sela acara seminar peringatan 725 tahun Majapahit di University Club UGM, Bulaksumur, Sleman, Selasa (27/11/2018).
Namun setelah Indonesia merdeka bukan menjadi akhir penghancuran situs Trowulan. Masyarakat sekitar mulai memanfaatkan tanah di Trowulan untuk dijadikan mata pencaharian dengan memproduksi linggan.
Dijelaskannya, bahwa linggan adalah batu bata diproduksi warga dengan cara menggali tanah Trowulan, kemudian dicetak dan dibakar. Tapi ia tak sepenuhnya menyalahkan masyarakat, mengingat pemerintah sendiri secara tidak sadar ikut dalam penghancuran situs tersebut.
“Saat menggali tanah kan pasti banyak temuan, dan ketika dicangkul bisa ikut rusak. Pemerintah sendiri mungkin secara tidak sadar ikut merusak situs itu dengan dibangunnya beberapa bangunan tanpa mengetahui ada situs di bawah bangunan itu,” katanya.
“Seperti di tahun 2009 Menteri Kebudayaan dan Pariwisata membangun tempat sebagai pusat info Majapahit, tapi setelah mencuat di publik karena bawahnya ada struktur Trowulan pembangunan dihentikan, begitu juga tahun 2012 yang rencananya mau dibangun pabrik baja juga tidak jadi,” ujarnya.
“Tapi kita kan seterusnya menunggu jadi kasus terus dimunculkan ke publik baru dapat perhatian. Karena itu kita ingin bangun agar BPCB mendata dan memetakan situs yang dilindungi,” imbuhnya.
Disinggung mengenai data kerusakan di Trowulan saat ini, ia belum bisa menjelaskannya secara rinci. Namun, beberapa cagar budaya ada yang telah mengalami restorasi seperti gapura bajang ratu, gapura beringin lawang, candi brahu dan beberapa tempat lainnya.
“Kalau berapa persen kerusakannya belum bisa bilang, karena Trowulan bukan seperti Pompei yang tak berpenghuni lagi. Karena saat ini masyarakat sudah mendirikan rumah dan itu hal yang membuat pemetaan sulit, karena siapa yang tahu halaman rumahnya ternyata ada situs,” katanya.
“Karena itu prosentasae kerusakan bisa bertambah lagi, bukan menyalahkan siapa-siapa, tapi untuk melindunginya biar tidak rusak. Tapi sebenarnya yang paling tanggung jawab adalah pusat, karena status cagar budaya nasional perlu dioptimalkan. Upayanya ya dengan sosialisasi ke warga yang belum tahu bawah rumahnya adalah cagar budaya nasional,” pungkasnya.
Sumber : Detik.com