Pena Khatulistiwa
Menggores Sejarah Peradapan

Tenggelamnya Kapal 'Junyo Maru' Pengangkut Romusha

Penakhatulistiwa.com – Kadet Letnan Muda André Henri Mantiri 1920-1944, seorang pemuda Minahasa memprihatinkan nasibnya. Bekas kadet Akademi Militer Bandung, yang ditangkap Jepang. Ia lalu menjadi tawanan dan diangkut kapal Junyo Maru.

Tak hanya Mantiri yang diangkut dalam kapal itu. Seorang Minahasa lain yang sudah puluhan tahun berdinas di KNIL juga jadi korban. Namanya Alexander Hermanus Herman Kawilarang, ayah dari pendiri Kopassus, Alexander Evert Kawilarang.

Related Posts
1 of 483

Sebagai bekas mayor KNIL, Kawilarang senior tampaknya dianggap berbahaya oleh Jepang. Menurut catatan buku Untuk Sang Merah Putih (1988: 32-33), ia ditangkap pada 1943.

Dalam e-book terbitan Kementerian Pertahanan Belanda itu tertulis, Junyo Maru mengangkut 2.300 tahanan perang Sekutu dan 4.200 orang Indonesia buruh paksa. Kapal itu hendak berlayar menuju Padang, di Pantai Barat Sumatera.

Tawanan perang dan romusha tersebut hendak dijadikan tenaga pembangunan rel kereta api. Kapal Junyo Maru meninggalkan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, pada 16 September 1944.

Kapal angkut Junyo Maru bukan bikinan Jepang. Menurut Fairplay Weekly Shipping Journal, Volume 140 (1936: 133), Junyo Maru dibuat Robert Duncan & Co di Glasgow, Skotlandia—yang merupakan daerah persemakmuran Inggris. Bobot matinya 8.310 ton.

Kapal ini berkali-kali ganti nama. Dari Sureway, Hartmore, Hartland Point, hingga Ardgorm; sebelum dibeli perusahaan Jepang dan diambil alih pemerintah Jepang.

Meski fungsinya tak jauh beda dengan kapal angkut barang seperti kebanyakan kapal sipil, kapal ini diberdayakan Jepang untuk membantu peperangan di Asia Timur Raya. Itulah kenapa kapal angkut ini pernah mengangkut tawanan perang.

Ribuan Tawanan Meregang Nyawa Kapal barang Junyo Maru masih jauh dari Padang ketika terendus kapal selam Inggris HMS Tradewind. Bagi HMS Tradewind, yang dinakhodai perwira Angkatan Laut Inggris bernama Stephen Lynch Conway Maydon, Junyo Maru tentu saja santapan empuk.

“HMS Tradewind, yang telah bersembunyi di Samudra Hindia dekat Pasar Bantal, menyelinap lebih dekat,” tulis H. Hovinga dalam The Sumatra Railroad: Final Destination Pakan Baroe, 1943-1945 (2014: 42).

Sekitar pukul sembilan, armada kapal selam Maydon sudah melepas empat torpedo. Dua di antaranya mengenai Junyo Maru. Maydon mendengar dua ledakan keras dan jelas. Di sebelah barat Bengkulu, sekitar Muko-Muko, kapal itu tenggelam.

Ketika akan tenggelam, seperti dicatat Hovinga, beberapa orang mulai menyanyikan lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus van Nassau dan ada pula yang berdendang Haroekoe Saparoea (hlm. 53-55). Lagu terakhir tampaknya dinyanyikan tawanan-tawanan bekas KNIL asal Ambon.

Kapal cepat Jepang berhasil menemukan beberapa orang yang lolos dari maut di kapal Junyo Maru pada 19 September 1944. Dalam buku Prisoners of the Japanese in World War 2 (1994: 159) karya Van Waterford, salah satu veteran yang lolos dari maut, penumpang Junyo Maru tersisa 880 orang. Jumlah yang lumayan untuk dipekerjakan dalam pembangunan rel kereta dari Muaro ke Pekanbaru.

Maydon, menurut Hovinga, dianggap tidak tahu jika ada orang-orang sipil di kapal Junyo Maru yang telah ia hadiahi torpedo. Jika mengikuti Konvensi Jenewa, seharusnya Junyo Maru memberi tanda bahwa ia tengah mengangkut tawanan perang. Setidaknya pada sebuah papan.

Jepang mengacuhkan aturan tersebut sejak awal perang. Kematian para tawanan itu tampaknya tak merisaukan Jepang. Mereka hanya dipusingkan oleh betapa banyak jumlah romusha yang hilang.

“Ketika Tradewind kembali ke Trincomalee pada 4 Oktober, Maydon masih belum tahu tentang korbannya,” tulis Bryan Perrett dalam Why the Japanese Lost: The Red Sun’s Setting (2014: 172).

Junyo Maru hanya terlihat sebagai kapal uap biasa yang lazim berlayar di lautan. Tapi akibat hantaman torpedo itu, sebanyak 5.620 penumpang tewas.

Tepat di Hari Valentine 1965, menurut catatan Hovinga, Maydon yang telah keluar dari Angkatan Laut dan sudah jadi anggota parlemen, akhirnya tahu bahwa kapal yang dikirimi torpedo pada 18 September 1944 itu berisi orang-orang yang tak layak dibunuh. Torpedo itu, secara tidak sengaja tapi juga tragis, memang telah mengakhiri derita orang-orang malang yang jadi tawanan Jepang. Namun, tetap saja Maydon merasa bersalah dan menyesalinya begitu dalam.

“Aku bertanggung jawab,” kata laki-laki yang berdinas di Angkatan Laut Inggris dari 1927 hingga 1948 dan dikenal sebagai politisi sayap kanan itu. Perasaan bersalah menghantui Maydon hingga dia meninggal dunia pada 1971.

Bersama Junyo Maru pula, Mantiri dan Kawilarang senior tenggelam. Alex Evert Kawilarang tentu saja sedih tiap kali mengenang Junyo Maru. Ia tak hanya kehilangan ayahanda, tapi juga banyak kawannya di akademi militer.

Selain Mantiri dan Kawilarang senior, ribuan orang Indonesia lainnya juga meninggal dunia. Nama mereka kebanyakan tak dikenali. Kematian mereka hanya menjadi statistik sejarah nasional saja.

(PPDSM)

READ  Risma Berencana Menghapus Bantual Langsung Tunai (BLT), Berikut Penjelasannya

Leave A Reply

Your email address will not be published.