Pena Khatulistiwa
Menggores Sejarah Peradapan

Jatim Darurat Instalasi Pengelolahan Limbah

Penakhatulistiwa.com – Perusahaan galangan kapal Jawa Timur menghadapi persoalan terkait limbah industri yang dihasilkan dari pengerjaan perawatan kapal yang dilakukan. Hal itu diungkapkan Ketua ikatan perusahaan industri kapal dan sarana lepas pantai Indonesia (IPERINDO) Jatim, Momon Herman disela diskusi Limbah Galangan dengan anggotanya di salah satu hotel di Surabaya, Selasa (27/5/2019).

“Kami menghadapi persoalan yang belum terpecahkan terkait limbah industri dari galangan kapal yang tersimpan hingga menggunung dari pekerjaan Sandblasting yang belum bisa dibuang karena sangat besar biayanya,” terang Momon.

Related Posts
1 of 549

Menurut Momon, besarnya biaya itu lebih disebabkan pembuangnya dilakukan harus jauh di tempat pengelolahan limbah Cilingsi Bogor. Sedang selama ini yang biasa dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan di wilayah Gresik sudah tidak lagi bersedia menerima sehingga menjadi persoaalan bagi pihak galangan itu sendiri.

“Daripada dibuang jauh biayanya mahal, dihitung-itung mending beli pasir baru buat Sandblasting kapal,” ungkapnya.

Belum lagi limbah kapal, Momon merasakan betapa berat para perusahaan pengambil limbah yang selama ini kerja menjadi mitra galangaan sedikit ketakutan dengaan adanya sidak dari kepolisian hingga penangkapan.

“Banyak yang gelisah kerjakan limbah karena adanya sidak, padahal seperti pasir yang digunakan itu kan hanya tercampur kelupasan cat makanya perlu kita gandeng pakar biar ngerti,” akunya.

Senada, Ketua Bidang Repair Kapal DPP IPERINDO, Rome Hasan Basri yang juga pimpinan salah satu galangan kapal menambahkan, memang, yang sekarang jadi persoalan kami adalah limbah pasir bekas Sandblasting memang belum bisa dibuang hingga numpuk tinggi karena bekum menemukan solusi sebab perusahaan yang bisa mengambil belum menemukan penerima di Jatim.

“Tapi kalau harus dibuang ke Cilingsi hitunganya memberatkan kita. Mahal jatuhnya mas,” jelasnya.

Kami berharap, Jatim ini bisa memiliki tempat pengelolahan limbah sehingga biaya pembuangannya tentunya tidak semahal kalau dibawah ke Jawa Barat.

“Rencana pembangunan yang pernah dimulai dulu diharaokan bisa dilanjutkan oleh pemorivpemprov jatim,” angannya.

Sementara, Pakar Lingkungan Universitas Airlangga, Prof. Dr. Suparto, SH. M.Hum mengatakan, limbah itu tidak di buang dalam paradigma manajemen limbah.

Kalau berbicara limbah itu dalam paradigma manajemen limbah, artinya sisa kegiatan industri maupun oprasional kapal itu tidak dibuang tapi limbah dikelola. Maka untuk mengatasi berbagai problema ini, Dia mendukung provinsi Jatim yang akan membangun pengelolahan limbah yang pernah sudah diwacanakan era gubenur Soekarwo bahkan telah melakukan peletakan batu pertama pembangunan instalasi pengelolahan limbah seluas 50 hektar yang dimulai 5 hektar di tahap awal di Cendoro Mojokerto itu sebenarnya mendapat suport oleh seluruh stakeholders, sehingga perlu dipercepat realisasinya oleh gubenur yang baru ini.

“Kala itu, pak de Karwo (mantan gubenur Soekarwo.red) telah mendorong, seharusnya bu Khofifah melanjutkan kembali sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan Jatim,” ujarnya.

Karena limbah B3, lanjut Prof Suparto, misalnya limbah industri tidak bisa kalau hanya dikelolah secara monopolistik oleh pengelolah limbah di Cilingsi Bogor saja sebab costnya tinggi dari biaya transportasi dan sebagainya serta tidak efektif.

“Kalau saja 1,7 juta limbah baik industri maupun limbah kapal mampu dikelola Jawa Timur, maka berapa pertumbuhan ekononimnya akan meningkat, dunia industri akan tumbuh dengan bagus, tenaga kerja akan terserap. Yang lebih terpenting lagi, lingkungan akan selamat,” tegasnya.

Jadi kalau jatim tidak mempunyai pengelolahan limbah sendiri, Prof Suparto melihat itu sebenarnya bunuh diri. Kenapa begitu, karena persoalannya tidak hanya masalah cost saja akan tetapi ibarat rumah tangga secantik apapun Green City Clean Jatim sekali pun dengan berbagai penghargaan, baik adipura, calpataru dan sebagainya, kalau tidak memiliki tong sampah (ibaratnya.red) tentu jadi persoalan.

“Seperti rumah kalau sebaik apapun jika tidak dilengkapi bak sampah dengan sebutan green macam-macam maka sampah akan dibuang disembarang tempat,” jelasnya.

Prof Suparto menambahkan, pendekatannya harus pendekatan fungsional. Maka kalau daerah ini tidak mempersiapkan pengelolahan limbah itu bisa dikatakan kita sedang mempersiapkan tragedi besar karena limbah akan dibung disembarang tempat dan tidak terkontrol.

“Kalau rencana pembangunan pengelolahan limbah di Mojokerto itu jadi maka kontrol pemerintah akan mudah sebab seluruh akan ke satu tempat,” katanya.

Otomatis, PAD daerah akan dapat dari penarikan restibusi dari limbah tersebut dan lagi pemerintah bisa tahu perusahaan yang tidak taat atas limbah industrinya.

“Kalau sekarang coba seperti apa, jarang terdeteksi akhirnya ujung-ujungnya di kriminalisasi. Kan kasihan,” tandasnya.

Sehingga, Prof Suparto melihat, akan memberi peluang bahwa limbah adalah penyalagunaan hukum. Karena, orang akan mudah diseret dengan dalih atas nama hukum.

“Padahal urusan administratifnya yang belum,” imbuhnya.

Untuk itu, prof Suparto berpesan, mendorong agar gubenur Khofifah bisa mempercepat rencana pembangunan instalasi limbah tersebut. Sehingga persoalan yang dirasakan salah satunya oleh pengusaha yang tergabung di IPERINDO terjawab dan ada solusinya untuk sebuah kepastian menjalankan usahanya.

“Betapa urusan limbah bukan urusan kegelisahan karena disini limbah akan menjadi berkah kalau dikelolah,” pungkasnya. Red

READ  Safari Ramadhan PT Indocement Bukber dan Sambangi Ponpes

Leave A Reply

Your email address will not be published.