Penakhatulistiwa.com – Terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan, Surabaya adalah tempat bukti sejarah dalam kemerdekaan yang dikenal dengan perang 10 November. Bahkan, banyak lokasi menjadi saksi bisu dalam peristiwa yang sampai sekarang dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Bangsa Indonesia.
Menjadi tempat bersejarah, seharusnya pemangku kebijakan di daerah seperti Pemerintah Kota Surabaya turut menjaga dan melestarikan lokasi agar bisa menjadi simbol ataupun bukti perjuangan para pahlawan saat merebut kemerdekaan.
Ironisnya, tempat yang menjadi bagian sejarah dalam perang kemerdekaan, seperti Benteng dan Bunker yang berada di kaki jembatan suramadu telah terancam beralih ke pihak swasta yang diduga dilepaskan begitu saja oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Sebagai komunitas pecinta sejarah Surabaya Historical Community, Nur Setiawan mengatakan dengan berat hati kabar duka ini harus disampaikan seluruh masyarakat Surabaya menjelang ulang tahunnya yang ke 726 pada 31 Mei 2019. “Kota kita tercinta Surabaya harus menerima kado pahit, yaitu lepasnya Benteng Kedung Cowek ke tangan swasta. Mau tidak mau, bisa tidak bisa masyarakat Surabaya pencinta sejarah yang mengalir darah pejuang, harus menerima kenyataan ini,” ujarnya pada media ini di Surabaya, Selasa (28/5).
Dijelaskan Setiawan, bahwa Benteng atau Batere Pertahanan Kedung Cowek merupakan sarana militer yang dibangun oleh Belanda pada awal abad 20 guna persiapan Perang Dunia 2 di Asia Timur Raya (Pasifik) untuk menghadapi militer Jepang. Walaupun dalam peta Surabaya tempo dulu, benteng ini tidak tercantum karena fungsinya sebagai obyek militer yang bersifat rahasia.
“Benteng Kedung Cowek juga mempunyai catatan sejarah Perang 10 Nopember 1945, yang merupakan cikal bakal berdirinya Batalyon Arhanudse 8. Benteng ini sempat diduduki “Laskar Sriwijaya” yang mahir menggunakan artileri pertahanan udara (bekas Heiho) untuk menangkis dan menyerang pertahanan Inggris yang berada di Tanjung Perak. Setelahnya benteng ini difungsikan sebagai gudang amunisi militer Indonesia dan ditutup kegunaannya pada akhir 90-an,” jelasnya.
Menurut Setiawan, apabila mengacu pada UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang tercantum pada Pasal 5 bahwa Benda, bangunan atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria : Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih. Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan, dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
“Jika merujuk pada Undang-undang tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa status apa yang tepat untuk Benteng Kedung Cowek atau benteng’e Arek-arek Suroboyo,” ungkapnya.
Bahkan, sebagai pegiat sejarah, Wawan sapaan akrabnya juga menilai hal terburuk yang dialami tempat sejarah benteng kedung cowek berpindah tangan ke swasta. Setelah di Ruislag (tukar guling) akhirnya Benteng Kedung Cowek dimiliki oleh perusahaan swasta yang berskala nasional. Karena status benteng kedung cowek yang belum ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya, membuat memudahkan pihak swasta untuk membongkarnya.
“Posisi Benteng Kedung Cowek sangat strategis. Karena berada di selat Madura dan pesisir Surabaya. Tak jauh dari akses Jembatan Suramadu dan Tanjung Perak jika melewati perairan. Apalagi jauh dari pemukiman penduduk, dalam kajian amdal sangat cocok untuk mendirikan pabrik,” ungkapnya.
Sebenarnya, kata Wawan, kabar Ruislag sebenarnya sudah lama tercium dan mengapa penanganannya terkesan lambat sehingga benteng bersejarah akhirnya lepas begitu saja. Akhir-akhir ini sering dilakukan pembersihan dan eksploitasi di area Benteng Kedung Cowek yang sangat menguntungkan pihak swasta.
“Apakah dalam project itu ada karyawan perusahaan swasta tersebut yang membaur dengan kelompok-kelompok atau bersih-bersih ini ada bayarannya agar mudah melipat Benteng Kedung Cowek. Wallahualam ?” keluhnya.
Oleh karenanya, Wawan menegaskan sebagai Arek Suroboyo merasa kecolongan oleh perlakuan Pemerintah Kota Surabaya. Seperti terjadi tiga tahun yang lalu disaat yang sama seperti sekarang Bangunan Cagar Budaya Rumah Siar “Radio Pemberontakan” Bung Tomo yang terletak di Jl. Mawar No. 10 juga dibongkar atas dalih bisnis.
“Antara sedih, dongkol dan marah tatanan kota Surabaya dirusak oleh orang-orang yang mementingkan perutnya sendiri,” pungkasnya. 21k