Senja Masa Ir. Soekarno
Penakhatulistiwa – Prof Tendy – Pada akhir September 1965 atau tepat 55 tahun yang lalu, sekelompok pasukan bergerak dari satu titik lokasi ke titik lokasi lainnya untuk menculik para perwira paling penting di tubuh Angkatan Darat. Pasukan yang menamai kelompok mereka sebagai Gerakan 30 September itu membawa para korban ke kawasasn Halim dan Lubang Buaya untuk dilakukan tindakan tertentu.
Keesokan harinya, peristiwa ini ramai karena para pelaku mengumumkan eksistensi mereka sebagai Dewan Revolusi. Sementara itu, pihak yang berseberangan dengan mereka di Angkatan Darat juga menyatakan bahwa mereka adalah kelompok pemberontak negara yang menculik para jenderal dan mengeksekusinya.
Sepak terjang Dewan Revolusi tidak dapat bertahan lama. Letkol Untung dan beberapa tokoh G30S yang semula tampak menguasai keadaan, ternyata tidak dapat menahan agitasi yang dikirimkan oleh orang-orang RPKAD yang dikomandoi Jenderal Soeharto. Lapangan Udara Halim yang dinyatakan sebagai basis utama gerakan Dewan Revolusi tidak dapat dipertahankan.
Dapat dipastikan bahwa hanya dalam beberapa hari, gerakan tersebut dinyatakan telah gagal total. Letkol Untung sendiri sebagai komandan gerakan tersebut, berhasil melarikan diri keluar dari Halim meskipun kemudian dalam pelariannya, ia ditangkap oleh beberapa orang anggota Armed (Artileri Medan) Brebes saat hendak menaiki sebuah bis.
Banyak para ahli dan pengamat sejarah yang menyebutkan bahwa peristiwa G30S merupakan awal dari kejatuhan era Soekarno. Peristiwa eksekusi terhadap para jenderal itu berhasil menurunkan pamor dan karisma kepemimpinan Bung Karno di tengah masyarakat. Rakyat berharap agar Soekarno mengambil tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang bersalah dalam peristiwa itu, namun harapan itu tak jua dapat direalisasikan.
Kondisi politik yang rumit, semakin diperkeruh dengan kondisi ekonomi yang semakin parah. Dalam Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa, Yozar Anwar menyatakan bahwa pada 10 Januari 1966 di Universitas Indonesia, tercetus Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang ditujukan kepada Soekarno, yaitu bubarkan PKI, rombak Kabinet Dwikora, dan turunkan harga.
Soekarno sempat memenuhi permintaan kalangan terpelajar dengan membubarkan kabinet, namun ternyata hal itu tidak cukup karena pelbagai kondisi lain semakin memperparah situasi politik yang ada. Bentrokan antara kelompok mahasiswa dan pasukan pengawal presiden pun sempat terjadi dan bahkan menewaskan seorang mahasiswa. Hal itu semakin mengobarkan semangat perlawanan rakyat terhadap rezim kekuasaan Soekarno.
Sementara itu, sejumlah kelompok di kalangan militer tidak dapat dikendalikan oleh Soekarno, sehingga beberapa kejadian memperlihatkan adanya gerak-gerik pasukan tertentu di sekitar pusat kota yang tidak dapat diidentifikasi komandonya.
Peristiwa itu terjadi kembali pada tanggal 11 Maret 1966, ketika Presiden Soekarno hendak melakukan Sidang Kabinet Dwikora yang Disempurnakan. Pasukan tak beridentitas berkeliaran di sekitar Istana Merdeka, padahal saat itu siding tengah berlangsung. Untuk berjaga-jaga akan keselamatan presiden, Pasukan Tjakrabirawa pun mengambil tindakan dengan mengamankan Presiden Soekarno ke Bogor menggunakan helikopter yang telah disediakan.
Tidak lama setelah itu, 3 jenderal utusan Soeharto datang ke Bogor dan meminta presiden untuk menandatangani sebuah surat guna mengambil tindakan yang bisa mengendalikan situasi. Surat itu adalah Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang menaikkan posisi Soeharto, sekaligus menggeser posisi Soekarno ke belakangnya.
Terkait bagaimana peristiwa G30S dan peristiwa Supersemar memutar kondisi politik bangsa Indonesia, Maulwi Saelan yang menjadi wakil komandan Resimen Tjakrabiwara di tahun 1965 dan menemani Soekarno hingga masa akhir kehidupannya, mengungkapkan bahwa G30S dan Supersemar merupakan tahap penting dalam kudeta terhadap Soekarno. “(G30S dan Supersemar itu adalah bagian) creeping coup d’etat, atau kudeta perlahan-lahan (terhadap Soekarno),” tulis Saelan dalam Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa.
Dalam uraian memoarnya, Soebandrio menyimpulkan bahwa, “rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap. Tahap pertama, menyingkirkan saingannya di Angkatan Darat seperti Ahmad Yani dan lain-lain.
Tahap kedua, membubarkan PKI yang merupakan rival terberat tentara sampai saat itu. Tahap ketiga, melemahkan kekuatan pendukung Bung Karno dengan menangkap 15 Menteri yang Sukarnois, termasuk Soebandrio. Tahap keempat, mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno.”
Setelah kekuasaan secara penuh berhasil dipegang Jenderal Soeharto, Presiden Soekarno mendapati bahwa pengaruh dan kekuatannya telah habis. Tidak hanya pengaruh di kalangan militer, pengaruh politisnya di tengah masyarakat pun benar-benar telah dilumpuhkan.
Pada 1968, Soeharto naik menjadi presiden dan Soekarno diharuskan angkat kaki dari istana. “Bung Karno meninggalkan Istana memakai kaus oblong, piyama, serta sandal usang. Bajunya disampirkan ke pundak,” papar Maulwi Saelan mengingat akhir nasib Presiden Soekarno yang menyedihkan.
Lahu al-fatihah..