Pena Khatulistiwa
Menggores Sejarah Peradapan

Dasawisesa, 10 Kekuasaan Sunda

Penakhatulistiwa, Prof Tendy Menjadi “urang” Sunda, berarti mesti memahami, meresapi dan melestarikan nilai-nilai Kesundaan yang ada. Tidak hanya nilai yang berkembang di tengah masyarakat Sunda masa kini, namun juga nilai yang termaktub dalam manuskrip-manuskrip Sunda kuno yang berkisah mengenai nilai yang diagem oleh orang-orang Sunda di masa lalu.

Salah satu nilai Kesundaan penting yang banyak dibahas saat ini adalah nilai-nilai tentang kekuasaan, khususnya kekuasaan masyarakat Sunda. Berkaca pada lembaran sejarah, kita menemukan bahwa masyarakat Sunda telah mengenal tradisi kekuasaan sejak lama. Hal itu tampak dari eksistensi pelbagai wujud konkrit kekuasaan di tengah masyarakat.

Related Posts
1 of 82

Dalam tradisi kekuasaan yang dikenal dalam sejarah masyarakat Sunda, kita akan menemukan manifestasi kekuasaan yang bersifat konkrit dengan adanya institusi-institusi politik di tengah masyarakat, seperti kerajaan (masa pra-Islam), kesultanan (masa pengaruh Islam), atau negara dan partai politik yang ada di dalam kehidupan masyarakat Sunda modern.

Di antara sekian banyaknya manuskrip Sunda, satu di antaranya berbicara tentang dasawisesa (10 kekuasaan) yang ada di tengah masyarakat Sunda Kuno. Naskah kuno yang dimaksud adalah Naskah Sanghyang Sasana Maha Guru, sebagaimana tertuliskan jelas di dalamnya: “Ndeh Sanghya(ng) Sasana Maha Guru ngaran sanghyang pustaka”.

Dasawisesa (10 kekuasaan) Sunda Kuno tersebut, di antaranya adalah:
1. Sanghya(ng) swatra tan kareungeu, apa(n) sira sang mangreungeu, sang hya(ng) tanpa kareungeu.
2. Hyang caksuh tan katwangtwan, apan (sira) sang ma tumwan, sang hya(ng) tan katingalan.
3. Hya(ng) gerna tan kaambung, apan[a] sira sang mangambung, sang hyang tanpa kaambung.
4. Hya(ng) jihwa tan karasa, apan sira sang mangrasa, sang hyang tanpa karasa.
5. Hya(ng) wak tan kasabda, apan sira sang manabda, sang hya(ng) tanpa kasabda.
6. Hya(ng) tewek tan kapresa, apan sira sang nga mre(sa), sang hya(ng) tanpa kaprasa.
7. Hya(ng) pani tan kagamel, apan sira sang manggamel, sang hya(ng) tanpa gamel.
8. Hya(ng) payu tan kaising, apan sira tan mangising, sang hya(ng) tanpa kaising.
9. Hya(ng) pastra tan kauyuh, apan sira sang manguyuh.
10. Hya(ng) pada tan lumaku, apan sira sang malaku, sang hya(ng) tanpa kalaku. (Prof Tendy)

READ  KOMUNITAS FRONT KOLOSAL SOERABAJA MENGENALKAN BUDAYA DAN SEJARAH MELALUI DRAMA

Leave A Reply

Your email address will not be published.