Pasca merengkuh Tanah Priangan dari Mataram melalui serangkaian perjanjian di tahun 1677, Kompeni tidak langsung mengurus wilayah barunya itu. Di samping maskapai dagang asal negeri kincir angin itu belum benar-benar mengetahui potensi kawasan Priangan, pada waktu itu keamanannya pun belum dapat dijamin.
Tidak dapat dipungkiri, selain faktor alam yang masih liar dan ganas, faktor manusia juga turut membuat Priangan semakin mengerikan di mata Kompeni. Ketika itu, yang membahayakan orang-orang Eropa saat ke pedalaman tidak hanya hewan-hewan liar dan kondisi alam yang tidak stabil semata, namun juga para gerombolan Priangan.
Gerombolan itu memang tidak semuanya “berkonotasi” jahat, karena di antaranya malah bergerilya di wilayah Priangan untuk melakukan perlawanan kepada pergerakan Kompeni dalam konflik-konflik kekuasaan dan aksi kontra-strategi terhadap penetrasi para serdadu VOC yang terus merangsek ke kawasan pedalaman.
Sebut saja kelompok Syekh Yusuf, yang bergerilya di Tanah Pasundan karena orang terdekatnya di Kesultanan Banten, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa, pelan-pelan dihancurkan. Atau Syekh Perwatasari, yang juga bergerak melakukan pergerakan di wilayah pegunungan karena ia kecewa terhadap Kompeni yang selalu memberi rakyat beban.
Tidak hanya para pejuang harga diri bumiputera yang bergerilya, kelompok yang melarikan diri dari Kompeni juga melakukan hal yang sama: melakukan perjalanan di kawasan liar yang berbahaya. Bahkan beberapa di antaranya melakukan kekacauan di daerah-daerah yang disinggahinya dengan memerebutkan harta benda masyarakat yang ada.
Laporan-laporan yang dimuat dalam Catatan Harian Kastil Batavia, menyebut beberapa nama orang bumiputera yang menjadi biang kekisruhan Priangan. Dua di antaranya adalah Surapati dan Namrud, yang pergerakannya terabadikan dalam catatan Kompeni. Tidak tanggung-tanggung, bahkan Surapati pernah membantai banyak orang Belanda.
Orang-orang yang berkeliaran dan mengganggu keamanan di wilayah Priangan ini, kadang disebut sebagai perampok, pengacau dan perusak ketertiban. Dalam Surat Perjanjian 7 Januari 1681 antara Kompeni dan Kesultanan Cirebon, mereka ini dituliskan dengan jelas sebagai para kelompok “Penyamun Kidul” yang sangat mengganggu keamanan.
Dimanakah tempat persembunyian mereka saat bergerilya di wilayah Priangan? Sila cermati penamaan desa-desa yang ada disana. Sebagian mengandung jejak pergerakan mereka saat melakukan perlawanan terhadap Kompeni Belanda. ( Prof Tendy )