PANGERAN WIRASUTA a.k.a PANGERAN GEBANG

Penakhatulistiwa, Oleh Prof Tendy – Pada sekitar abad ke-16, seorang anak yang berasal dari keluarga besar Keraton Cirebon, dibawa dan diasuh oleh keluarganya yang ada di Kesultanan Banten. Ia dibesarkan di tengah lingkungan para pinangeran, dididik sebagai seorang bangsawan dengan ragam wawasan dan pengetahuan. Anak yang penuh dengan potensi itu bernama Wirasuta, dan kemudian mendapat jodoh seorang putri Sultan Banten. Setelah dewasa, anak cerdas yang sangat berbakat itu berkembang menjadi seorang politisi yang ulung dan dapat diandalkan. Di samping memegang jabatan yang penting di lingkungan Kesultanan Banten, ia juga menjadi diplomat sekaligus negoisator Banten dalam mengurusi pelbagai urusan luar negeri kerajaan, termasuk dengan Pemerintahan Agung VOC di Batavia.

Sebetulnya, apabila kita merujuk pada naskah silsilah Kedawung, Wirasuta tercatat sebagai putra dari Pangeran Sedang Kamuning bin Pangeran Pasarean bin Sunan Syarif Hidayatullah. Dengan demikian, ia adalah cicit dari Sunan Maulana Jati dan merupakan seseorang yang masih keturunan bangsawan Keraton Cirebon. Namun demikian, karena ibu dari Wirasuta bukan seorang Garwi Padmi maka secara tradisi ia tidak memiliki hak atas tahta, meskipun tetap berhak atas gelar bangsawan “pangeran.” Hal ini kemudian mengarahkan keluarganya untuk membesarkan Wirasuta jauh dari Cirebon, dan membawanya hingga ke Banten.

Di Banten, Wirasuta tumbuh menjadi seorang anak yang sangat berbakat dan memiliki kemampuan yang sangat menonjol dalam bidang komunikasi. Selanjutnya, ia pun merintis karir sebagai pejabat pemerintahan. Posisinya semakin moncer berkat pernikahannya dengan salah seorang saudari Maulana Muhammad, yang pada waktu itu merupakan Putra Mahkota Banten dan kemudian menjadi Sultan disana. Karena hubungan kekeluargaan ini amat dekat sehingga Wirasuta mendapat kepercayaan yang tinggi, maka banyak pelancong dan pengelana asing yang mengira bahwa Wirasuta adalah saudara kandung Maulana Muhammad karena sering mewakili sang sultan dalam waktu-waktu tertentu.

Setelah Sultan Maulana Muhammad wafat akibat peperangannya melawan Palembang di Laut Sumatera, Wirasuta dipercaya oleh keluarga besar Kesultanan Banten agar menjadi pendamping sultan muda (anak dari Maulana Muhammad yang masih kecil) bersama seorang tumenggung yang berasal dari keluarga inti sultan lainnya untuk memerintah Kesultanan Banten. Ketika itu, Wirasuta berperan sebagai Mantri Jaba (Menteri Luar) yang mewakili Sultan dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pihak luar istana Banten.

Sebagai seorang pejabat dengan segudang tanggung jawab, Wirasuta pun mendapatkan fasilitas yang juga sangat luar biasa dari Kesultanan Banten untuk hitungan pada zaman itu. Salah satu sarana yang diberikan kepadanya itu adalah kediaman yang lokasinya sangat strategis di dekat Pasar Banten. Kediamannya itu berukuran sangat besar, karena di samping sebagai tempat tinggal tempat itu juga berfungsi sebagai kantornya dalam melaksanakan tugas sebagai Mantri Jaba. Setiap hari, orang hilir mudik kesana kemari untuk menyerahkan pajak dagang ke tempat itu sehingga kediamannya tersebut juga dikenal sebagai Paseban (tempat untuk seba atau menghadap).

Rumah yang ditempati oleh Wirasuta, di samping memerhatikan fungsi, juga mendapatkan hiasan indah sedemikian rupa untuk memperlihatkan nilai estetika yang dimiliki oleh sang pejabat. Sebagai Mantri Jaba yang bergaul dengan orang lintas bangsa yang berasal dari berbagai macam belahan dunia, tentu tak ingin memperlihatkan kesan yang kurang mengenakan bagi para tamunya. Oleh sebab itu, ia memberi pelbagai macam hiasan yang indah di hampir seluruh sisi kediamannya, mulai dari taman hingga ke ruang-ruang pertemuan. Salah satu karya paling estetis di tempat tinggal Wirasuta adalah taman dengan hiasan utama yang berupa pepohonan gebang (corypha utan), sejenis palma yang hidup di dataran rendah. Nama pohon ini kemudian melekat kepada sosok Wirasuta, sehingga ia dikenal pula sebagai Pangeran Gebang.

Dalam pertemuan-pertemuan resmi kenegaraan, tempat Wirasuta selalu berdekatan dengan sultan. Hal itu memperlihatkan kedekatannya dengan pusat otoritas Banten dan juga menunjukkan bahwa Wirasuta adalah tokoh yang sangat penting bagi Kesultanan Banten. Saking pentingnya sosok yang juga masyhur sebagai Pangeran Gebang ini, ketika Banten terlibat masalah dengan VOC, maka yang diutus untuk menyelesaikan masalah ini ke Batavia adalah Wirasuta. Ia pun berangkat dengan banyak pengiringnya untuk bertemu dengan Jan Pieterszoon Coen di loji Belanda. Di kota berbenteng tersebut, Wirasuta terlibat dalam pertemuan-pertemuan yang menegangkan sekaligus heroik karena ternyata ia dapat kembali dengan selamat tanpa kurang apapun.

Pada masa tuanya, Wirasuta tetap membaktikan hidupnya untuk Kesultanan Banten, tempat dimana ia dididik dan berkarya. Oleh sebab itu, pasca Amangkurat dari Mataram melakukan penyerangan “kurang jantan” dengan memanfaatkan posisi Cirebon yang tengah berada di bawah hegemoninya pada pertengahan abad ke-17, Wirasuta dengan berani menawarkan diri dan keluarganya untuk hidup di tapal batas wilayah antara Banten dan Mataram. Wilayah perbatasan yang ia datangi bersama keluarganya itu adalah wilayah Gebang saat ini, yang ketika itu merupakan perkampungan nelayan dan banyak ditumbuhi pohon-pohon gebang. Pilihan tempat tersebut bukan semata-mata karena wilayahnya banyak ditumbuhi gebang semata, tetapi juga karena wilayah itu terletak di bagian timur Cirebon. Dengan demikian, ketika pengaruh atau serangan Mataram datang, maka Wirasuta bersama keluarga dan pasukan yang dimilikinya dapat menangkal hal itu lebih awal.

Setelah hidup dengan kehormatan sebagai tokoh penting Banten dan juga pelindung Cirebon, pada akhirnya usia lanjut juga turut merongrong Wirasuta. Tanpa jelas kapan tahun dan dimana tempatnya, Wirasuta pun akhirnya meninggal dunia di tengah perjuangannya dalam membela Banten dan Cirebon dari pengaruh Mataram. Salah satu putra Pangeran Wirasuta yang paling potensial untuk menggantikan kepemimpinannya setelah Wirasuta meninggal adalah Pangeran Sutajaya. Ia adalah putra Wirasuta yang sejak muda sudah diperintahkan oleh sang ayah untuk menimba ilmu kesana kemari. Sama seperti Wirasuta, Sutajaya pun dikenal dengan gelar yang sama, yaitu Pangeran Gebang.

Secara historis, kiprah Pangeran Wirasuta yang juga dikenal sebagai Pangeran Gebang Banten itu, tercatat dalam sejumlah sumber-sumber primer yang berasal dari tulisan para pedagang, pelancong, dan pejabat asing. Bahkan, tulisan tangan yang berupa surat dari Pangeran Gebang yang tersimpan di salah satu tempat konservasi benda kuno di luar negeri, masih tersedia hingga saat ini dan dapat dianalisa. Hal ini menunjukkan bahwa Pangeran Wirasuta atau Pangeran Gebang itu adalah tokoh historis, tokoh yang benar-benar ada, dan bukaan rekaan dongeng ataupun karakter fiktif dalam babad semata.

a.k.agebanggoresanpangeranperadabansejarahwirasuta
Comments (0)
Add Comment