Pena Khatulistiwa
Menggores Sejarah Peradapan

Menelaah Awal Kisah Saunggalah

Penakhatulistiwa – “Di area ini, dahulu Raja Saunggalah bersemedi. Ia menyerahkan raganya pada Yang Maha Suci untuk mendapatkan cahaya keagungan kerajaan,” tutur suara tak kasat mata yang sampai ke dalam dada salah seorang tim @jejakmalamofficial.

Tampaknya, komunikasi itu belum selesai karena semedi yang dilakukan masih berlanjut selama beberapa saat. Dalam lanjutannya, suara bathin itu menyampaikan bahwa, “di tempat ini, pernah Raja Pandawa Sang Wiragati berdoa kepada tuhannya untuk kemajuan kerajaan.”

Related Posts
1 of 119

Bagaimanapun, naskah-naskah Sunda Kuno yang sampai kepada kita memang mencatat bahwa Saunggalah pernah ada dan lokasinya berada di sekitar Gunung Ciremai. Poesponegoro (2008) pernah menulis bahwa Saunggalah adalah salah satu wilayah atau huyut haden yang termasuk dalam sistem administrasi Kerajaan Sunda pada suatu periode.

Dalam konteks ini, Saunggalah memiliki sistem kekuasaan yang berbeda dengan Pakuan Pajajaran dan Galuh yang silih berganti menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sunda. Namun, memang ada juga pendapat yang meyakini bahwa pada suatu periode, Saunggalah pernah menjadi pusat Kerajaan Sunda.

Sebelum mengarah kesana, alangkah baiknya kita sama-sama menelaah kembali naskah kuno yang dikenal oleh para ahli filologi sebagai Fragmen Carita Parahyangan (FCP) dan Carita Parahyangan (CP) yang ditulis pada abad ke-16. Aksara dan bahasanya adalah Sunda Kuno yang sedikit saja orang yang memahaminya.

FCP menulis nama Saunggalah dengan kata “Saunggalah”, sedangkan CP menulisnya sebagai “Saungkalah”. Disini tampak ada sedikit perubahan fonetis, namun memang secara maknawiyah artinya tidak jauh berbeda karena merujuk pada konteks kata yang sama.

Sulaeman Kartasumitra (1993) mengatakan bahwa Sempakwaja tidak dapat menjadi raja Galuh sekalipun ia putra sulung. Alasannya, ia dianggap memiliki cacat pada fisiknya yaitu karena giginya ompong (sempak = tanggal, copot; waja = gigi). Oleh karenanya, penerus Galuh yang ditunjuk adalah Mandiminyak, adik bungsu Sempakwaja.

Pasca penunjukkan ahli waris tahta itu, seakan ada kompetisi tidak terbuka di antara keluarga Sempakwaja dan Mandiminyak. Terlebih, sebagaimana diungkapkan oleh Tendi (2019), Sempakwaja merasa sakit hati terhadap adiknya itu karena Mandiminyak telah bermain serong dengan istrinya.

Demi menjaga pamor dan mengimbangi kekuasaan keluarga dan keturunan Mandiminyak yang semakin membesar, keluarga Sempakwaja pun menggunakan politik keluarga untuk menghimpun kekuatan dan dukungan. Jika Purbasora dinikahkan dengan putri Kerajaan Indraprahasta, maka Demunawan dinikahkan dengan salah seorang putri dari Raja Kuningan.

Setelah mempersunting putri dari Sang Wiragati, Raja Kuningan, Demunawan kemudian menggantikan posisi ayah mertuanya sebagai raja. Namun dalam perkembangannya, ia tidak melanjutkan kebesaran kerajaan mertuanya dengan nama Kuningan, melainkan membangunnya dengan nama Saunggalah. ( Tendy Chaskey )

READ  Lewat Lagu INDONESIAKU, Ini Pesan Ketua PAPPRI Jatim untuk Anak Bangsa

Leave A Reply

Your email address will not be published.