Pena Khatulistiwa
Menggores Sejarah Peradapan

POCUT MEURAH INTAN, “SRIKANDI” Aceh Yang Terbaring di Tanah Jawa

Penakhatulistiwa.com, Indonesia – Pocut meurah intan atau juga di kenal sebutan pocut biheu adalah seorang ibu mujahidah yang berasal dari laweung dan butee, sekarang kabupaten pidie, lahir pada tahun 1873 tepatnya di desa lam padang , mukim V1 laweung, pidie.

Ia merupakan salah seorang putri bangsawan dan juga pahlawan wanita dalam memperjuangkan dan mempertahankan kedaulatan tanah air dari penjajahan belanda. Pocut meurah intan adalah juga ibu tiri dari permaisuri sultan alaiddin Muhammad daud syah, raja terakhir kerajaan aceh darusalam.

Related Posts
1 of 1,025

Salah satu wanita hebat Aceh yang keberaniannya diakui Belanda adalah Pocut Meurah Intan. Dia mendapat gelar Heldhafting artinya Yang Gagah Berani. Gelar heldhafting ini diberikan oleh seorang perwira Belanda Letkol TJ.Veltman.

Pemberian gelar ini sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan atas keberanian Pocut Meurah Intan. Dialah wanita bersenjatakan rencong yang berani melawan 18 serdadu Belanda seorang diri. Keberaniannya membuat terkagum-kagum tentara Belanda.
Ayahnya adalah teunku meurah intan, salah seorang hulubalang negri biheu yang telah terlebih dulu meninggal dunia. Meskipun demikian ia menitipkan salah satu pesan yang amat membekas dalam dirinya yaitu “jangan sekali-kali kamu menyerah pada kompeni belanda dalam keadaan bagaimanapun“ pesan ini yang selalu di pegang dan di hayati oleh pocut meurah intan dalam setiap perjuangan dan peperangan yang di lakukan, sehingga semangat juang pocut tak pernah gentar dalam menghadapi penjajah belanda meskipun tubuhnya telah lumat di terjang peluru musuh.

Pocut meurah intan melangsungkan pernikahan dengan salah seorang pangeran yang masih merupakan turunan dari sultan aceh yaitu tuanku abdul madjid bin tuanku abbas bin sultan alaiddin jauhar alamsyah yang memerintah aceh selama lebih kurang 28 tahun, suami pocut ini merupakan salah seorang anggota keluarga sultan aceh yang pada mulanya tidak mau berdamai dengan belanda.

Dari perkawinannya dengan tuanku abdul madjid di karuniai anak 3 orang putra yang semua mereka itu akan menjadi pejuang-pejuang yang setia bagi bangsa dan agama. Mereka
bernama tuanku budiman, tuanku tuanku muhamad, dan tuanku nurdin.

Pocut Meurah Intan adalah pemimpin perang gerilya di Daerah Laweung. Hal ini dilandasi oleh menyerahnya sang suami kepada Belanda. Padahal sebelumnya mereka berkomitmen untuk melawan Belanda sampai akhir. Menyerahnya suaminya kepada Belanda juga memicu Pocut Meurah Intan untuk menceraikan suaminya tersebut. Setelah bercerai dengan suaminya, Pocut Meurah Intan bertekad untuk berjuang melawan Belanda.

Pocut Meurah Intan juga mengajak ketiga putra untuk ikut berperang. Beliau memimpin pasukan keluar-masuk hutan. Begitu seringnya Pocut Meurah Intan bersama pasukannya menyerang pasukan Belanda sehingga beliau masuk dalam daftar buronan Belanda. Pasukan marsose Belanda berusaha mengadakan patroli dan pengejaran terhadap pasukan Pocut Meurah Intan. Berkat semangat berjuang bersama ketiga anaknya. Pocut Meurah Intan semakin kuat melawan Belanda.

Namun, putra pertama yaitu Tuanku Muhammad atau Muhammad Batee tertangkap pada bulan Februari 1900. Tertangkapnya putra pertama membuat Pocut Meurah Intan semakin bersemangat. Cintanya dengan tanah kelahiran yang diilhami oleh kepercayaaan pada agama dan pendidikan dari guru beliau dan ditambah pula pengaruh dari cerita Hikayat Perang Sabil, membuat Pocut Meurah Intan tidak kenal menyerah.

Dalam setiap pertempuran, beliau bersama dua putranya dan panglima perang yang setia selalu gigih dalam berjuang. Namun, walaupun Pocut Meurah Intan memiliki daya juang yang tinggi, pada tanggal 11 November 1902, Pocut Meurah Intan tertangkap di Gampong Sigli.

Tertangkapnya Pocut Meurah Intan memberikan kesan tersendiri. Hal ini diceritakan oleh H.C.Zentgraaff, seorang wartawan Belanda dan pemimpin redaksi koran De Java Bode yang meliput perang di Aceh.

Awal November 1902, pasukan patrol di bawah pimpinan T.J Veltnam melakukan patrol di daerah laweung, biheeu. Biheeu yang terkenal sebagai daerah gerilya yang telah di bersihkan sebelumnya. Akan tetapi di tengah perjalanan, Veltnam melihat seorang wanita dan tatapan matanya memendam kebencian yang mendalam sehingga Veltnam menyuruh anak buah nya untuk memeriksa, tetapi ketika serdadu mendekat wanita itu ia mencabut rencongnya dan dengan segala daya menyerang pasukan Veltnam seorang diri.

Insiden tersebut mengakibatkan pocut meurah intan mengalami luka-luka parah, sekujur tubuhnya penuh luka, dadanya berlobang kena tembakan peluru, dan salah satu urat keningnya putus. Ia terbaring di atas tanah dengan darah dan lumpur yang mengotori tubuhnya laksana kain lusuh yang tidak berharga.

Karena kasihan melihat kondisi pocut, seorang sersan meminta kepada mereka untuk melepaskan tembakan sebagai pelepas nyawa untuk menghilangkan penderitaan pocut. Permintaan tersebut tidak di izinkan oleh veltnam mereka meninggalkan pocut dan menginginkan agar pocut meninggal di tangan bangsanya sendiri.

Setelah kejadian di atas berlangsung beberapa hari, ketika veltnam berjalan-jalan di kedai biheu (antara sigli dengan padang tiji) ia mendengar bahwa pocut bukan saja masih hidup tetapi mempunyai rencana untuk membunuh terhadap warga kampong yang telah menyerah kepada belanda karena di anggap berkhianat kepada bangsa sendiri dalam perjuangan. Dan veltnam baru tahu bahwa wanita kemaren adalah seorang pemimpin gerilya. Veltnam pun mencari keberadaan pocut meurah intan, dan ternyata ia di temukan pada salah satu rumah penduduk, tubuhnya di balut dengan bermacam-macam kain dan sangat menyedihkan pada luka-lukanya di oleskan oleh kotoran sapi, ia menggigil dan mengerang kesakitan karena banyak sekali mengeluarkan darah dan luka-luka yang di alaminya ketika bertempur dengan brigade veltnam.

Melihat kondisi pocut yang sangat kritis veltnam tidak sampai hati, ia menawarkan bantuan pengobatan dari dokter tetapi pocut menolak. Veltnam yang fasih berbahaya aceh, terus membujuk pocut untuk menerima tawarannya. Melihat kesungguhan veltnam untuk menolong barulah pocut bersedia menerima pertolongannya.

Proses penyembuhannya berlangsung sangat lama sekali dan kakinya menjadi pincang. Berita tentang keberanian pocut meurah intan dalam melawan brigade Veltnam dengan hanya bersenjatakan sebilah rencong diketahui oleh kemunduran militer sebentar dari buku harian ia mengunjungi pocut meurah intan di samping veltnam pada saat itu ia belum sembuh total.

Di hadapan pocut meurah intan scheuver mengambil sikap hormat sebagaimana layaknya seorang prajurit dan member hormat dengan meletakkan jari-jari di pinggir topi petnya. Sehever berkata pada veltnam yang faseh dalam bahasa aceh, katakan “saya sangat kagum kepadanya” veltnam
meneruskan ucapan sehever kepada pocut meurah intan. Dari raut wajah dan senyum kulum pocut meurah intan pocut tergambar “kaphe ini boleh juga” pikirnya.

Dalam diri schever dan veltnam tertanam rasa simpati terhadap keberanian dirinya. Daya tahan sekaligus penderitaan yang di alami pocut meurah intan. Kekaguman mereka bertambah-tambah karena pocut mampu mempertahankan keyakinannya tanpa tergoyahkan sedikitpun. Veltnam memberi gelar kepada pocut meurah intan dengan sebutan “heldhufting gagah berani“ ada hal yang tidak mereka sanggup cerna bahwa dalam diri seorang wanita tertananm rasa identitas dan karakter yang sangat sangat kuat yang belum pernah mereka melihat sebelumnya.

Disinilah sebenarnya tercermin sebuah sikap yang sangat bijaksana dari musuh dan sikap menghargai dari pihak yang tertawan. Pocut pada masa selanjutnya menjadi tawanan yang di tempatkan di kuta raja (sekarang banda aceh) dalam sebuah rumah di kampong keudah.

Beberapa saat kemudian Pocut Meurah Intan sembuh dari sakitnya. Setelah sembuh, bersama seorang puteranya, Tuanku Budiman, ia dimasukkan ke dalam penjara di Aceh. Sementara itu, Tuanku Nurdin, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pemimpin para pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kalee. Belanda kerepotan menghadapi perlawanan Tuanku Nurdin. Meskipun ibu dan kakaknya sudah tertangkap , tapi perjuangan Tuanku nurdin tidaklah surut. Bahkan Belanda menerapkan tatktik licik untuk memadamkan perjuangan Tuanku Nurdin. Belanda menangkap isteri Tuanku Nurdin pada bulan Desember 1904, dengan harapan agar suaminya menyerah. Tetapi Tuanku Nurdin tidak melakukan hal tersebut.Tuanku Nurdin tak gentar dan tetap melanjutkan perjuangan.

Namun pertempuran yang tak seimbang menyebabkan Tuanku Nurdin tertangkap pada tanggal 18 Februari 1905. Belanda berhasil menangkapnya di tempat persembunyiannya di Desa Lhok Kaju. Setelah itu Tuanku Nurdin di tahan bersama ibunya, Pocut Meurah Intan dan saudaranya Tuanku Budiman. Dan juga seorang keluarga sultan yang bernama Tuanku Ibrahim. Mereka berempat di buang ke Blora di Jawa Tengah.

Pocut Meurah Intan menghabiskan masa tuanya di tempat pengasingan hingga akhir hayatnya. Tidak lama kemudian putranya pun tertangkap begitu juga dengan pang Mahmud meskipun dalam status tahanan perang , mereka merencanakan melarikan diri dan melakukan perlawanan dengan perang gerilya.

Akan tetapi usaha ini telah diketahui terlebih dahulu di ketahui oleh “mata-mata” pihak belanda sendiri, akhirnya semua mereka di asingkan ke tanah jawa blora jawa tengah.

Kepahlawanan pocut meurah intan yang disebut juga pocut biheu di jiwai oleh semangat yang di tanamkan oleh ayahnya uleebalang negeri biheu yang berperan pada puterinya agar dalam keadaan apapun jangan sekali-kali tunduk, kepada kompeni belanda. Dendam inipun tidak kunjung padam hingga akhir hayatnya jauh dari tanah kelahirannya.

Sementara puteranya tuanku Muhammad di asingkan oleh belanda ke Sulawesi utara, berbeda dengan dua putera lainnya tuanku budiman dan tuanku nurdin yang di asingkan ke jawa.

Hal ini mengindikasikan bahwa pemisahan antara anak dan keluarga merupakan suatu pukulan psikologis untuk mematahkan mental dan mempersempit hubungan emosional di anatara keluarga pejuang. Ini merupakan suatu resiko perjuangan yang harus di terima sebagai ganjaran bagi pejuang-pejuang aceh yang melawan kekuasaan belanda.

Pocut menjalin hubungan yang baik dengan Bupati Blora. Ia berpesan agar jasadnya dikebumikan di Blora saja. Akhirnya Pocut berpulang ke-rakhmatullah pada tanggal 19 September 1937.

(PPDSM)

READ  Bersama Polrestabes, Pemuda Pancasila Kota Surabaya Komitmen 'Jogo Suroboyo'

Leave A Reply

Your email address will not be published.