Oleh: Tendi, S.Pd., S.T., M.Hum (Sejarawan Muda Indonesia)
Penakhatulistiwa – Pada tahun 1710, Sultan Sepuh Tajularipin Djamaluddin atas nama masyarakat Desa Japura melakukan klaim terhadap lahan persawahan yang terletak diantara Desa Japura dengan Desa Kanci yang merupakan desa dibawah kekuasaan Kesultanan Kanoman.
Bentrokan bersenjata berkaitan dengan permasalahan tersebut hampir terjadi. Kasus ini pun masuk ke dalam persoalan hukum yang ditangani oleh institusi peradilan Cirebon yakni Jaksa Pepitu.
Dalam sidang perdana, Jaksa Pepitu menolak kasus tersebut, pasalnya tidak ada cukup bukti untuk mendukung klaim yang diajukan oleh Sultan Sepuh mewakili masyarakat Japura itu.
Jaksa mengetahui tiga dari empat saksi yang diajukan oleh Sultan Sepuh tidak dapat diterima kesaksiannya, karena mereka bersaksi atas nama majikannya.
Akibatnya, para Jaksa memiliki tugas yang mustahil untuk membujuk pihak yang kalah menerima hasil keputusan tersebut.
Komposisi jaksa pada peradilan di Cirebon setelah disahkan Pangeran Adiwijaya (putera kedua Sultan Sepuh Martawijaya) sebagai salah satu penguasa Cirebon dengan gelar Pangeran Arya Cirebon, yakni dua orang jaksa mewakili Kanoman, dua orang jaksa mewakili gusti Panembahan, dua orang jaksa mewakili Kasepuhan dan seorang jaksa mewakili pangeran Arya Cirebon.
Perintah dari Belanda di Batavia yang memaksa untuk menerima kasus tersebut membuat politisasi dikalangan para jaksa yang semakin besar, sebab penolakan Jaksa Pepitu yang didasarkan kepada kurangnya bukti telah ditolak oleh Belanda.
Maka semakin sedikit alasan para jaksa tersebut untuk tidak mendukung kepentingan dari atasan mereka masing-masing yang merupakan para penguasa Cirebon, hal ini menyebabkan kebuntuan peradilan.
Pasalnya para jaksa yang mewakili keluarga Sepuh (termasuk di dalamnya seorang jaksa yang mewakili pangeran Arya Cirebon yang merupakan anak kedua Sultan Sepuh Martawijaya) kontra terhadap dua orang jaksa yang mewakili keluarga Kanoman.
Padahal sudah jelas, bahwa ada bias dalam kesaksian dan bukti yang diajukan oleh Sultan Sepuh ketika itu. Hal ini menyebabkan Pangeran Raja Dipati Kusuma Agung yang merupakan wakil penguasa kesultanan Kanoman dan masyarakat Kanci merasa bahwa keputusan yang dihasilkan oleh institusi Jaksa Pepitu tersebut tidak sah, dan tidak mengikat.
Keraton Kanoman pun tidak segan untuk menolak putusan yang dikeluarkan oleh Jaksa Pepitu. Pada akhirnya masalah ini diseleseikan dengan perintah langsung dari Batavia pada tahun 1711, yang memutuskan bahwa suara mayoritas harus dijalankan.
Hal ini menyebabkan keputusan tersebut dapat diterima oleh Pangeran Raja Dipati Kusuma Agung. Batavia yang memaksakan penerimaan pengadilan mengakibatkan keputusan itu harus diberlakukan walaupun pada prosesnya merusak wewenang Jaksa Pepitu dalam memutuskan penerimaan sebuah kasus. (Redaksi)