Pena Khatulistiwa
Menggores Sejarah Peradapan

PERKOKOH NUSANTARA, WARGA LIDAH GELAR DOA DAN ANGKAT BUDAYA

Penakhatulistiwa.com – Aktivitas warga Kampung Lidah, Kota Surabaya terlihat sejak Rabu malam (10/10). Warga dibantu para pemuda saling bergotong royong membangun gapura dan gubuk di sekitar Pesarean R. Sawunggaling, Lidah Wetan gang III. Persiapan ini dilakukan untuk menampilkan suasana klasik, agar acara yang digelar pada hari Minggu nanti tampak tradisional.

Tak ketinggalan warga Kampung Lidah dari RW lainnya juga sibuk menghias gunungan, ogoh-ogoh hingga menyiapkan pakaian adat demi menyemarakkan acara tersebut. Puncaknya jatuh pada hari Minggu pagi (13/10), acara yang dihelat tahunan dengan tajuk “Gelar Doa & Angkat Budaya” ini dibuka oleh Cak Armudji salah satu anggota DPRD Jawa Timur.

Related Posts
1 of 514

Setelah doa dan sambutan, Kirab Budaya Kadipaten Suroboyo diawali dengan fragmen kolosal. Raden Sawunggaling Kulmosostronegoro yang saat itu masih muda bernama Joko Berek pamit pada ibunya, untuk pergi menemui sang ayahanda Prabu Jayengrono, yang menjabat adipati di keraton Surabaya. Sang paman sempat keberatan agar Joko Berek tak pergi, namun dengan tekad yang kuat ia akhirnya pergi berbekal cinde dan ayam jago kesayangannya.

Perjalanan Joko Berek ini sebagai ihwal njajah deso milangkori membangun Surabaya sekaligus melawan kolonialisme Belanda. Fragmen tersebut mempunyai filosofi agar generasi muda Kota Pahlawan tak lupa dengan perjuangannya dalam melawan penjajahan. Setelah berpamitan kirab pun dimulai, ratusan warga Kampung Lidah dengan beragam hiasan tradisional mengelilingi kampung mengawal Joko Berek untuk mendatangi keraton Surabaya.

Tak mudah untuk menembus keraton, sesampai disana Joko Berek harus dihadang oleh prajurit keraton dan saling mengadu kesaktian. Atas keberaniannya, ia pun dapat menemui sang ayahanda beserta dua saudaranya, dengan menunjukkan cinde puspito sebagai bukti jika ia putra sang adipati. Melihat kegigihan Joko Berek, sang ayahanda Prabu Jayengrono dengan senang hati menerimanya menjadi bagian dari keraton Surabaya.

Tak pelak adegan penutup kirab itu mampu menyita perhatian warga dan puluhan fotografer yang ada disana. Aldi bocah Sekolah Dasar penonton kirab menuturkan “Saya senang melihat kirab yang diadakan tiap tahun ini, apalagi ada jaranan yang ditampilkan” ujarnya polos. Selain Kirab Kadipaten Suroboyo, pada malam harinya di halaman Pesarean R. Sawunggaling juga digelar Srawung Suroboyo, sebuah diskusi kebudayaan yang dihadiri lintas elemen Surabaya. Warga Lidah Wetan tak hanya menjaga keberagaman, namun juga melestarikan kearifan lokal demi memperkokoh Nusantara dari gempuran budaya asing. (wan/ts/shc)

READ  Soal Pertemuan IMF-WB, La Nyalla: Kalau Kritik yang Proporsional, Jangan Lebay

Leave A Reply

Your email address will not be published.