Pena Khatulistiwa
Menggores Sejarah Peradapan

Pahlawan Perang Balath Syuhada

 

Penakhatulistiwa.com – Hanya separuh abad setelah wafatnya Baginda Muhammad Saw, Islam telah mencapai Maroko dan Spanyol pada tahun 711 M di bawah bendera Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad.

Related Posts
1 of 465

Sebuah perjalanan jihad yang berlangsung begitu cepat dan menghentak. Ruh jihad dan kerinduan akan syahid masih menggema keras bagai dentuman yang melempar para junduLlah hingga ke negeri-negeri yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya bertekuk lutut dalam kedaulatan Islam yang adil.

Tahun 732 M, Andalusia (Spanyol) dipimpin oleh Gubernur Abdurrahman al-Ghafiqi, sebagai representasi kepemimpinan Bani Umayyah. Ia menggalang seruan jihad sebagaimana perintah Allah dan Rasul-Nya untuk mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru negeri. Ia mengumpulkan para mujahidin di seluruh negeri Andalusia untuk menjawab gangguan yang dilancarkan Pangeran Odo dari kerajaan Aquitaine di perbatasan negeri muslimin.

Kerajaan Aquitaine saat itu berada di daerah pegunungan Pyrenes, diapit antara Dinasti Umayyah Andalusia di selatan dan Romawi Perancis di Utara. Untuk menjaga posisinya, Pangeran Odo bersekutu dengan Amir Utsman bin Naissa yang selanjutnya melakukan pemberontakan dan mencaplok daerah muslimin Andalusia di Utara.

Utsman bin Abi Nus’ah, amir penjaga perbatasan yang dipercaya oleh panglima perang Abdurrahman Al-Ghafiqi. Padahal, ia dipercaya untuk memimpin pasukan inti diperbatasan untuk menghadapi musuh. Tetapi, pilihan Abdurrahman itu keliru, dan orang yang dipercaya itu, berkhianat, dan karena ambisinya itu, dan lalu menculik puteri Raja Octania, yang bernama Minnin. Minnin terkenal sangat jelita, berdarah bangsawan, masih belia, dan sebagai penghuni istana. Puteri Minnin inilah yang membuat Utsman bin Abi Nus’ah tergila-gila.

Utsman bin Abi Nus’ah yang dipercaya oleh Abdurrahman Al-Ghafiqi, akibat sudah tergila-gila dengan kecantikan puteri Minnin, kemudian ia membuat perjanjian perdamaian dengan Raja Octania. Dan, Utsman memberi jaminan keamanan kepada Raja Octania.
Begitulah, ketika datang perintah untuk menyerbu wilayah Octania, maka Utsman bin Abi Nus’ah menjadi bimbang untuk melaksanakannya. Kabar yang sampai ke telinga Abdurrahman Al-Ghafiqi menjadi sangat marah, akibat pengkhiatan yang dilakukan oleh Utsman.

“Perjanjian yang anda lakukan yang anda lakukan tidak sah, maka tidak ada keharusan prajurit Islam mentaatinya”, ujar Abdurrahman.

Selanjutnya, panglima perang Islam, itu mengirimkan pasukan untuk menangkap pengkhianat Utsman bin Abi Nus’ah. Pasukan yang diutus itu berhasil menaklukan dengan pertempuran diatas gunung, dan Utsman bin Nus’ah dengan berbagai tusukan pedang.

Sedangkan Minnin, puteri Raja Octania itu tertangkap, kemudian dikirim ke Damaskus. Saat melihat puteri Minnin itu, Abdurrahman Al-Ghafiqi memalingkan wajahnya, karena puteri itu terlalu cantik.

Kabar tewasnya Utsman bin Abi Nus’ah dan nasib putrinya yang jelita, Minin, mengejutkan Duke Octania. Dia sadar bahwa genderang perang telah ditabuh. Cepat atau lambat singa Islam, Abdurrahman al-Ghafiqi akan menyerbu kapan saja, tak peduli siang atau malam.

Kaisar Duke Octania segera mempersiapkan diri untuk mempertahankan setiap jengkal wilayahnya. Hanya saja bayang-bayang buruk selalu menghantuinya. Dia khawatir akan menjadi tawanan kaum muslimin seperti putrinya yang kini dikirim ke Syam. Dia takut kepalanya dipenggal kemudian ditaruh di atas talam dan diarak keliling kota seperti Loderik, raja Andaluisia dahulu.

Dugaan Duke Octania tepat, tiba-tiba Abdurrahman al-Ghafiqi benar-benar datang bersama pasukan yang luar biasa besarnya, menyerbu dari Spanyol Utara bagai gelombang pasang dan turun ke wilayah Prancis Selatan dari pegunungan Pyrenees laksana air bah. Prajuritnya mencapai 100.000 orang dan setiap batalyonnya didampingi oleh prajurit-prajurit pilihan yang bertubuh tinggi besar.

Prajurit Islam masuk melalui kota Arles yang terletak di tepi sungai Rhone. Pertimbangannya adalah karena kota ini terikat perjanjian damai dengan muslimin dan telah menyetujui kewajiban membayar jizyah. Namun setelah gubernur as-Samah bin Malik al-Khaulani gugur di Toulouse dan kekuatan muslimin melemah, mereka melanggar perjanjian dan menolak membayar jizyah.

Kedatangan Abdurrahman al-Ghafiqi dan pasukannya di perbatasan Azil, disambut oleh pasukan besar yang disiapkan oleh Duke Octania untuk menghambat gerak maju pasukan Islam. Dua kekuatan berhadap. Perang besar tak terelakkan lagi.

Pasukan pertama yang dikerahkan Abdurrahman al-Ghafiqi adalah pasukan khusus yang lebih mencintai mati daripada kecintaan musuh terhadap kehidupan. Mereka berhasil menggoyahkan dan akhirnya memporak-porandakan barisan musuh. Pertempuran terus merambat ke dalam kota. Pedang-pedang berkelebat membabat kiri-kanan. Pasukan Islam mendapatkan hasil ghanimah di luar perhitungan.

Namun sayang, Duke Octania berhasil meloloskan diri dari medan beserta sisa-sisa pasukannya. Pertempuran di Arles baru awal dari suatu perang yang panjang. Bersama pasukannya, Abdurrahman al-Ghafiqi menyeberangi sungai Garonne. Kemenangan demi kemenanganan mereka raih. Satu demi satu kota-kota Octania dapat direbut melalui pasukan kavalerinya, seperti daun-daun yang berugugran diterpa angin. Ghanimah makin menumpuk hingga mencapai jumlah yang belum pernah dijumpai sebelumnya.

Duke Octania berusaha membendung pasukan Islam untuk kedua kalinya dengan mempersiapkan suatu pertempuran besar. Namun kali inipun kaum muslimin mampu mengatasinya. Mereka menghajar dan meluluhlantakkan pasukannya. Duke Octania kembali lolos meninggalkan para prajuritnya yang kocar-kacir. Banyak yang gugur, tidak sedikit yang tertawan dan ada pula yang lari dari medan perang.

Target serangan berikutnya adalah Bordeaux, kota terbesar di Prancis pada waktu itu sekaligus merupakan ibukota Octania. Perang untuk memperebutkan Bordeaux tak kalah serunya dengan peperangan-peperangan yang telah lalu. Sistem pertahanannya tentu lebih kokoh. Tapi dengan perjuangan yang tak kenal lelah, kota besar ini dapat direbut oleh pasukan muslimin seperti kota-kota lainnya.

Jatuhnya kota Bordeaux ke tangan kaum muslimin merupakan batu loncatan bagi kejatuhan kota-kota penting lainnya, antara lain, Lyons, Bourbonnais dan Cannes. Kota terakhir ini terletak sekitar seratus mil dari Kota Paris. Seluruh kota terguncang atas jatuhnya sebagian besar wilayah Prancis bagian selatan ke tangan Panglima Abdurrahman Al-Ghafiqi, hanya dalam waktu beberapa bulan.
Kini, di setiap tempat di Eropa ramai terdengar seruan untuk menghentikan bahaya yang datang dari timur itu. Seruan itu menghimbau seluruh penduduk Eropa untuk membendung bahaya dari timur itu “dengan dada jika pedang telah jatuh”, dan “menutup jalan di depannya dengan anggota badan ketika alat perang telah habis.” Seluruh Eropa memenuhi seruan itu. Mereka berkumpul di bawah pimpinan Karel Martel.

Pasukan Islam telah sampai di Kota Tolouse, Kota Perancis terkemuka dan paling banyak penduduknya. Tentara Muslimin mengepung kota itu dengan ketat. Untuk menaklukkan kota itu mereka mengorbankan jiwa dan darah mereka. Tak lama kemudian kota tersebut akhirnya jatuh ke tangan mereka.

Pada sepuluh hari terakhir bulan Sya’ban tahun 140 Hijriyah, Abdurrahman Al-Ghafiqidan bala tentaranya bergerak menuju Kota Poitiers. Di kota itulah ia bertemu dengan pasukan jalan kaki tentara Eropa yang dipimpin oleh Karel Martel. Pertempuran hebat pun meletus. sayang, punggung tentara Islam sarat dengan harta-harta rampasan yang terus menumpuk. Di tangan mereka harta itu terus tertumpuk. Al-Ghafiqi berniat memerintahkan tentaranya untuk melepaskan harta rampasan yang sangat banyak dan melelahkan itu. Tapi ia khawatir, keputusannya itu tidak mereka sukai. Ia tidak memperoleh jalan terbaik kecuali memerintahkan untuk mengumpulkan harta-harta rampasan itu dalam kemah-kemah khusus. Kemah itu didirikan di belakang kamp tentara sebelum perang berkecamuk.

Selama beberapa hari bala tentara kedua belah pihak tidak bergerak. Masing-masing saling memperhatikan dengan diam, saling mengintai dengan tegang. Kedua kubu itu berdiri tegak bagaikan deretan gunung. Satu sama lain siap menyerang. Kedua belah pihak dengan cemas memperhatikan keberanian musuhnya dan berhitung seribu kali sebelum mulai menyerang.

Setelah keadaan tegang itu berlangsung cukup lama, Abdurrahman Al-Ghafiqi membuka serangan maju dengan kudanya di tengah-tengah barisan pasukan Perancis bagikan singa kelaparan yang mengamuk. Bala tentara kaum muslimin bagaikan gunung terjal yang tumbang. Pertempuran di hari pertama berlalu, di mana kekuatan kedua belah pihak masih seimbang.

Pada hari berikutnya pertempuran berlangsung makin seru. Perang berlangsung selama tujuh hari dengan dahsyat dan seru. Pada hari kedelapan kaum muslimin melancarkan serangan mendadak sehingga mereka dapat melumpuhkan barisan tengah. Waktu itu, kaum muslimin melihat cahaya kemenangan seperti cahaya subuh yang nampak di kegelapan.

Namun waktu itulah, sekelompok tentara Perancis menyerang gudang penyimpanan harta rampasan kaum muslimin. Ketika kaum muslimin melihat harta rampasannya hampir berada di tangan musuh, banyak dari mereka yang kembali. Barisan tentara kaum muslimin menjadi kocar kacir. Panglima Al-Ghafiqi memompa semangat pasukannya untuk terus menyerang dan menutup celah-celah yang dapat ditembus musuh. Ketika sedang bertempur itulah sebatang anak panah menancap ke tubuhnya sehingga ia jatuh dari punggung kudanya, diam tak bergerak, menjadi syahid di medan laga.

Melihat kejadian itu, ketakutan mulai merasuki jiwa pasukan muslimin. Mengetahui hal itu, tentara musuh berubah menjadi ganas dan bertambah keberaniannya. Ketika hari subuh, pasukan Islam telah menarik diri dari Kota Poitiers.

(PPDSM)

READ  Terduga Teroris JAD di Bekuk, Densus 88 dan Polres Cirebon Temukan Botol Cairan Febreze

Leave A Reply

Your email address will not be published.