Pena Khatulistiwa
Menggores Sejarah Peradapan

JANE FOSTER, INTEL CANTIK YANG MENGAWASI INDONESIA

 

Penakhatulistiwa.com – Pertemuan terjadi di rumah Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo pada 28 September 1945. Jane Foster dari Kantor Dinas Strategis (OSS) -pendahulu CIA- dan Letnan Kolonel K.K. Kennedy dari pasukan Sekutu, pengawas militer AS, mewawancarai sejumlah tokoh terkemuka Republik untuk mengetahui pandangan mereka.

Related Posts
1 of 469

Selain Subardjo, hadir juga Soekarno, Mohammad Hatta, Amir Sjarifuddin, Iwa Kusumasumantri, dan Kasman Singodimedjo. Ada satu tokoh lagi yang hadir, dengan nama samaran Kasman, yakni Tan Malaka.

Laporan dalam simpanan arsip OSS, menyebutkan bahwa di awal rapat, Kennedy menjelaskan bahwa misi AS merupakan misi intelijen sepenuhnya, dan kedatangan mereka tak bisa diartikan sebagai pernyataan persetujuan terhadap gerakan nasional Indonesia. Soekarno membalas, semua yang hadir memahaminya.

Soekarno kemudian meminta maaf karena tak bisa bicara banyak dan menunjuk Soebardjo sebagai juru bicara. Namun pembicaraan kemudian lebih banyak dilakukan Kasman, dengan diselingi keterangan Soekarno, Hatta, dan Soebardjo. Pertemuan antara lain membahas soal penyitaan perusahaan-perusahaan besar, modal asing, dan peranan Sekutu dalam proses transisi.

Sesudah pertemuan, Jane Foster segera kembali ke markas. Dia melaporkan bahwa gerakan nasionalis Indonesia “bukanlah bagian dari rencana besar Rusia ataupun Jepang untuk menggulingkan imperialisme Barat, melainkan ledakan alami atas tumpukan kekesalan yang sudah menggelora selama berpuluh-puluh tahun.” Foster juga menegaskan bahwa rakyat Indonesia “tidak merencanakan revolusi. Mereka mau membicarakan perdamaian.”

Selain itu, “pemerintah Republik sangat menginginkan agar modal Amerika ditanamkan di Indonesia” dan “melanjutkan ekspor bahan mentah seperti sebelum Perang Dunia II”.

Informasi Foster sangatlah berharga bagi AS. Begitu Jepang menyerah, pemerintah AS nyaris tak punya informasi dan pemahaman yang memadai mengenai Indonesia. Agen-agen OSS menjadi satu-satunya sumber informasi intelijen Washington. Terlebih, Konsul Jenderal Amerika Serikat di Jakarta masih berada di Australia dan belum kembali ke posnya di Jakarta hingga pertengahan Oktober.

Foster dan agen OSS lainnya tiba di Jakarta pada 15 September. Meski awalnya Washington tak ingin terlibat langsung di Asia Tenggara, Washinton memutuskan mengambil langkah ini.

Lord Louis Mountbatten, panglima tertinggi Sekutu di Asia Tenggara, mengizinkan OSS beroperasi di wilayah South East Asia Command (SEAC) sampai perwakilan diplomatik Amerika Serikat bisa bekerja. Tim OSS akan menjalankan fungsi Rehabilitasi Tahanan Perang Sekutu dan Interniran (RAPWI), memperoleh informasi tentang kejahatan perang, dan melindungi properti Amerika. Namun Washington juga menggunakan OSS untuk mengumpulkan data-data intelijen soal politik, militer, dan ekonomi.

Agen-agen OSS datang sebagai bagian dari misi Misi Militer Sekutu yang berada di bawah komando Laksamana Muda W.R. Patterson. Di dalam kapal Patterson, HMS Cumberland, ikut juga para pejabat RAPWI dan personel Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Foster memainkan peranan penting sebagai penghubung OSS. Begitu tiba, Jane Foster, kala itu berusia 33 tahun, mencari kontak dengan Soekarno –yang menurut pandangannya seorang gentlement yang memikat gaya bicaranya, tampan, dan berwibawa, dan fasih bahasa Inggris– untuk menjajaki pandangannya dan kabinetnya.

Dia juga melakukan perjanjian lisan dengan para pemimpin yang masih di bawah tanah. Dalam otobiografinya, An Unamerican Lady, Jane Foster menyebut tugasnya sebagai staf OSS mengikuti perkembangan politik di Indonesia serta melakukan hubungan teratur dengan Soekarno dan kabinetnya.

Indonesia bukanlah tempat yang asing bagi Foster. Pada Oktober 1936, dia menikah dengan diplomat Belanda, Leendert “Leo” Kamper, dan tinggal di Jawa. Pernikahan mereka bertahan selama 18 bulan. Selama proses perceraian, dia pergi ke Bali dan tetap di sana hingga kembali ke Amerika pada September 1939. Tak heran jika dia bisa berbahasa Melayu.

Latar belakang Foster terbilang unik. Dia lahir pada 1912 dan tumbuh di San Francisco, California, dari keluarga kaya. Ayahnya, Harry Emerson Foster, adalah direktur medis Cutter Laboratories di Berkeley. Dia lulusan Mills College di Oakland, California.

Foster mulai bekerja di OSS pada 1943, ditempatkan di Salzburg, Austria. Tak lama kemudian dia menempati pos di Kandy, sebuah kota pedalaman di selatan Sri Lanka. Dari sinilah operasi-operasi rahasia OSS dilancarkan ke sejumlah wilayah: Sumatra, Hindia Belanda, Siam, Burma, Malaysia, Indochina-Prancis (kemudian Vietnam).

Foster tergabung dalam Operasi Moral (MO), beranggotakan tenaga profesional di bidang komunikasi massa, dari wartawan hingga penulis naskah film Hollywood. Mereka membuat dan mempublikasikan propaganda “hitam” –atau rahasia– serta merancang siasat halus untuk melemahkan moral musuh dan mendorong penduduk lokal untuk melawan dan menggagalkan pendudukan militer Jepang di negara mereka.

Meski berusia 60-an tahun, Jenderal William J. Donovan, penggagas sekaligus komandan OSS, secara teratur mengunjungi pos-posnya di seluruh dunia. Pada awal 1945, dia muncul di markas MO di Sri Lanka. Dia terkejut ketika melihat Foster dan dua perempuan pribumi memasukkan pamflet anti-Jepang dan obat malaria ke dalam ratusan kondom. Ketika Foster melihat atasannya melongo, Foster berkata: “Ini adalah pesan-pesan yang diselundupkan ke Indonesia, mendesak mereka untuk memulai pemberontakan melawan Jepang. Agen-agen kita menyebarkannya ratusan dari pesawat di sepanjang garis pantai,” katanya.

Foster juga memimpin agen-agen lokal dan membantu menyusun berita palsu seolah siaran radio Jepang untuk mendorong perlawanan. Ketika tiga orang Indonesia yang jadi mata-mata OSS ditangkap Jepang di Kepulauan Batu, tenggara Sumatra, dia menggelar operasi penyelamatan. Direktur OSS mulanya enggan meluncurkan misi penyelamatan karena akhir perang sudah jelas, tapi OSS setelah perang (kemudian digantikan CIA) akan kesulitan merekrut mata-mata jika tak menyelamatkan kawan-kawan mereka.

Foster merencanakan operasi penyelamatan menggunakan kapal transportasi Inggris. Saat itu dia dilarang ikut karena dia seorang perempuan. Gregory Bateson, seorang antropolog yang bekerja di OSS, dengan sukarela mengambil-alih dan memimpin misi penyelamatan itu.

Pada akhir Agustus 1945, ketika pekerjaan OSS mereda, Kolonel John Coughlin, komandan detasemen OSS di Sri Lanka, mengundang Jane Foster ke bungalownya. Setelah menuangkan minuman, Coughlin bertanya apakah Jane mau menjadi sukarelawan untuk melaporkan transisi pascaperang di Jawa. Dan tibalah Foster di Indonesia.

Penilaian Foster, juga umumnya agen OSS di Indonesia, bernada simpatik. Sayangnya, AS terfokus pada pembangunan kembali Eropa sehingga mengorbankan banyak sekutunya di Asia yang berharap mendapatkan kemerdekaan sebagai hadiah karena membantu mengalahkan Jepang. Sebaliknya, kekuatan kolonial yang lama dan dibenci mulai membangun kembali cengkeraman mereka tanpa rintangan dari Amerika.

Ini membuat Foster marah, yang menyaksikan kekejaman dan ketidakadilan pasukan Belanda dan Prancis terhadap warga sipil di Indonesia dan Vietnam dan percaya AS telah merusak kepentingan mereka sendiri. Dia menulis di sebuah kertas putih lecek yang mengutuk kebijakan Amerika di Indonesia. OSS sendiri dibubarkan Presiden Harry S. Truman tak lama setelah pemecatan Donovan pada 20 September 1945.

Foster meninggalkan OSS pada 1946, kembali ke Amerika, lalu menghabiskan sisa hidupnya di Paris. Pada pertengahan 1950-an, apa yang dia kerjakan di Indonesia, menggiringnya pada penyelidikan Pengadilan Federal AS.

#PPDSM

READ  Ketua Mahkamah Agung Lantik Tiga Kadilmiti

Leave A Reply

Your email address will not be published.